ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pemerintah berencana menerapkan standarisasi kemasan atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024. Kebijakan tersebut dinilai dapat menurunkan penerimaan negara hingga Rp 27,7 triliun.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai rancangan PMK tersebut menjadi badai selanjutnya yang dihadapi industri rokok. Padahal aturan PP 28/2024 sendiri juga berdampak industri hasil tembakau, tenaga kerja, hingga penerimaan negara.
Berdasarkan hasil perhitungannya, skenario jumlah kemasan, pemajangan produk, dan iklan tembakau akan menurunkan pertumbuhan ekonomi minus 0,53%. Kemudian penerimaan perpajakan 52,8% tenaga kerja di industri rokok berkurang 10,08%, tembakau olahan 2,38%, petani tembakau 17,16%, hingga petani cengkeh 3,73%.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menilai kebijakan ini dari desain kemasan secara perlahan ini akan mematikan industri rokok. Selain itu, akan menumbuh suburkan rokok ilegal di pasaran.
"Tentu saja, ini akan menurunkan, bukan hanya plain packaging saja, itu akan menurunkan penerimaan negara, terutama dari cukai, sebesar Rp 27,7 triliun. Tadi 3 PP tadi yang kami hitung Rp 58 triliun, sekarang ada tambahan baru Rp 27,7 triliun. Jadi, akan luar biasa dampaknya terhadap penerimaan negara," kata Tauhid dalam acara 'Badai Baru Ancam Industri Tembakau: Rencana Kemasan Polos Tanpa Merek' di Perle Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Dia pun menyebut desain kemasan polos ini telah diterapkan di sejumlah negara, seperti Australia, Skotlandia, Kolumbia, hingga New Zealand. Di Skotlandia, para konsumen bingung memilih varian merek dari industri tembakau karena penampilan kemasan yang berubah. Imbasnya, transaksi di ritel dapat bermasalah.
Lebih lanjut, di New Zealand, penelitian 2023, Tauhid menyebut kemasan polos tanpa merek itu dapat menurunkan brand awareness dan influence nama brand. Sementara, di Kolombia baru-baru ini 2024, konsumen harus membayar mahal sekitar US$ 5,63 agar kebijakan kemasan polos tidak ditetapkan.
"Dan di Inggris, ini yang menarik justru penerapan kemasan standar packaging plus juga kebijakan cukai itu akan menurunkan pendapatan perusahaan. Jelas tadi, di Inggris sudah ada lesson-learn-nya. Di 2017 ke 2018 sekitar 16% penurunan pendapatan, bahkan produksi rata-rata turun sekitar 6,3 juta batang," jelasnya.
Melihat hal itu, Tauhid menilai kebijakan itu harus diimbangi dengan kebijakan lainnya agar industri tembakau tidak semakin tertekan. Dia berharap ada peraturan yang bisa menopang dan melengkapi aturan tersebut.
"Karena harus mengganti bagaimana potensi katakanlah pertumbuhan ekonomi yang lost, termasuk juga penerimaan negara yang lost ini akan seperti apa? Artinya bahwa kebijakan tidak boleh tunggal, harus ada kebijakan lain, ada substitusi dari banyak dimensi," tegasnya.
(rrd/rrd)