ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membantah membuka kembali keran ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun dilarang. Staf Khusus Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Doni Ismanto menegaskan kebijakan saat ini berbeda dengan kebijakan sebelumnya.
Seperti diketahui, Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun dilarang. Keputusan ini ditandatangani oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melalui revisi dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Revisi ini mencakup Permendag Nomor 20 Tahun 2024 dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah aturan tentang barang yang dilarang diekspor serta kebijakan ekspor.
Doni mengatakan pihaknya tidak pernah memberikan pernyataan terkait ekspor pasir laut. Kebijakan saat ini juga berbeda dengan kebijakan yang sebelumnya. Doni menegaskan tujuan kebijakan saat ini menjaga ekologi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bedalah (dengan peraturan sebelumnya), kalo PP 26/2023 tujuannya jelas utk menjaga ekologi dan meningkatkan daya dukung ekosistem laut," kata Doni kepada detikcom, Jumat (20/9/2024).
Berdasarkan pada pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, Doni menjelaskan hasil sedimentasi di laut adalah sedimen di laut berupa material alami yang berasal dari proses pelapukan dan erosi yang terdistribusi oleh dinamika aktivitas kelautan atau oseanografi dan terendapkan, yang bisa diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran.
Dia bilang hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur. Jadi, dia menilai sedimentasi itu bukan selalu pasir laut.
Dia pun membandingkan definisi pasir laut yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 441 tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Pasir Laut.
"Pasir Laut adalah bahan galian pasir yang terletak di bawah wilayah perairan Indonesia yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan/atau golongan B dalam jumlah yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Beda kan?" jelasnya.
Terkait penolakan sejumlah kalangan masyarakat, Doni menyebut penyusunan regulasi ini melibatkan partisipasi publik, konsultasi publik, mulai dari warga masyarakat, pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga akademisi. Hal ini dapat dibuktikan ke lapangan, seperti daerah Moro Demak, Kenjeran, Subang, hingga Indramayu yang mana lokasi-lokasinya memang ada sedimentasi dan mengganggu aktivitas nelayan.
"Sebuah kebijakan publik wajar ada pro cons, kami tentu menerima masukan itu. Hal yang pasti terkait konsen publik terutama soal pengawasan, kita perhatikan dengan memperkuat PSDKP dan kita sudah tekankan untuk menjaga kerusakan lingkungan dengan mewajibkan pihak yang melakukan pembersihan sedimen menggunakan sarana yang ramah lingkungan," imbuhnya.
Dia menekankan setiap pihak yang melakukan pengelolaan sedimentasi juga wajib melaksanakan tanggung jawab sosial masyarakat terutama ke nelayan dan lingkungan. Selain itu, tidak mengancam kepunahan biota laut, tidak mengakibatkan kerusakan permanen habitat, tidak mengubah fungsi ruang, wajib memiliki persetujuan lingkungan dan wajib memiliki asuransi kerusakan lingkungan.
Penolakan itu datang dari sejumlah kalangan, seperti nelayan dan masyarakat pesisir. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati mengatakan kebijakan tersebut sangat mengganggu nelayan. Dia bilang banyak kelompok-kelompok nelayan maupun masyarakat adat yang berada di pesisir menolak kebijakan ini.
"Kalau dari nelayan ini sangat mengganggu mereka ya karena banyak sekali kelompok-kelompok nelayan ataupun masyarakat adat yang berada di pesisir ini sangat menolak kebijakan ini," kata Susan kepada detikcom.
Senada, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengatakan pihaknya menolak kebijakan tersebut lantaran mudharatnya lebih besar bagi nelayan dan eksosistem laut.
"Intinya, kami sebenarnya menolak kebijakan ini. Mudharatnya lebih besar bagi nelayan dan ekosistem laut," ujar Dani.
Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi sebelumnya, dia menyebut dampak dari penambangan pasir laut terhadap nelayan kecil atau tradisional sangat besar, seperti lingkungan laut jadi tercemar dan rusak, ikan-ikan menjauh, terumbu karang serta lamun rusak.
Akibatnya, nelayan harus menangkap ikan ke lokasi yang jauh. Bahkan buruknya, tidak bisa mendapat ikan. Alhasil, meningkatkan kerentanan yang dialami nelayan akibat risiko biaya melaut yang lebih besar dan risiko kecelakaan melaut yang lebih tinggi.
"Hasil pengamatan cepat anggota KNTI khususnya di Kepulauan Riau, khususnya di Kab. Karimun yang akan menjadi salah satu lokasi pengerukan sedimentasi/pasir. pengurus daerah KNTI menyampaikan sangat khawatir dampaknya akan sangat besar bagi anggota kami nelayan kecil di sana, termasuk potensi bencana lingkungan (pulau yang akan tenggelam) yang akan terjadi di kawasan tersebut," terangnya.
(rrd/rrd)