ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Fenomena 'ayah paruh waktu' tengah ramai di China. Ini terjadi saat norma sosial di negara tersebut masih menetapkan pria adalah pencari nafkah, sementara wanita mengurus rumah tangga dan anak-anak.
Menurut survei 2019, lebih dari separuh pria di China kini telah setuju untuk menjadi ayah rumah tangga. Hal itu bertepatan dengan pengakuan yang lebih luas atas hak-hak perempuan dan akses mereka untuk mendapat pendidikan tinggi, meski masih kurang terwakili dalam peran-peran senior.
"Peningkatan jumlah ayah rumah tangga disebabkan oleh fakta bahwa perempuan memiliki status yang lebih tinggi saat ini," jelas Pan Xingzhi, pendiri platform konseling psikologis daring yang dikutip dari The Straits Times.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu yang mulai menjalani kegiatan ini adalah Chen. Pria yang sebelumnya bekerja sebagai manajer proyek memutuskan untuk berhenti dan mengabdikan dirinya untuk keluarga.
"Ketika Anda bekerja, Anda memimpikan karier yang hebat dan uang ini akan membantu keluarga. Tetapi tidak ada yang pasti, dan gaji belum tentu merupakan hal yang paling dibutuhkan keluarga Anda," tuturnya.
Bapak dari dua anak itu mengaku mengambil langkah ini untuk lebih mendekatkan diri dengan anak-anaknya. Menurutnya, hal ini yang tidak dilakukan oleh ayahnya dulu.
"Ayah saya hanyalah seorang ayah. Saya tidak pernah merasa dia dapat membantu saya, kecuali secara finansial," kata Chen.
"Saya ingin menjadi seperti teman bagi anak-anak saya, sehingga mereka dapat berbagi banyak hal," lanjutnya.
Chen merasa keputusannya untuk tinggal di rumah bisa memberikan waktu luang untuk istrinya, Mao Li.
Di Xiaohongshu, Instagram versi China, para ayah muda yang tinggal di rumah dengan bangga mempromosikan pilihan gaya hidup mereka. Seperti yang dilakukan seorang konten kreator dan pengusaha pendidikan dari Kota Zhuhai, Chang Wenhao.
Pria 37 tahun itu menyesuaikan jam kerjanya agar 80 persen waktunya dapat digunakan untuk putrinya yang berusia tujuh tahun dan putranya berusia lima tahun. Dengan waktunya itu, ia bisa mengajak keduanya berkemah, berkuda, bersepeda, dan mendaki gunung.
"Dalam hal metode pendidikan, dorongan, cara membangun rasa percaya diri, mengembangkan keterampilan mereka, kemandirian mereka dalam hidup, saya memberikan mereka hal-hal yang tidak mereka pelajari di sekolah atau dari orang dewasa lainnya," terrang Chang.
Namun, banyak ayah rumah tangga yang melaporkan penolakan dari keluarga mereka. Salah satunya dialami Xu Xiaolin (34) dari Xiamen, China timur.
Ia telah menjadi ayah rumah tangga sejak perusahaan tempatnya bekerja itu bangkrut.
"Pada awalnya, orang tua dan kakek-nenek saya sering 'Anda harus bekerja'," beber Xu.
"Tetangga yang lebih tua juga kadang berkomentar kepada mereka. Itu mengganggu mereka, hingga menekan saya," sambungnya.
Bahkan, tak jarang banyak orang yang lewat mengolok-oloknya saat berjalan dengan putranya yang berusia dua tahun.
(sao/naf)