ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Angka stunting di Indonesia masih jauh dari target penurunan prevalensi kasus di 14 persen. Tahun lalu, 'hanya' tercatat penyusutan 0,1 persen yakni dari 21,6 menjadi 21,5 persen.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sempat berdalih kendala penurunan stunting berada di masalah eksekusi implementasi program sejumlah daerah. Namun, sejumlah pakar meyakini ada beragam faktor lain yang selama ini terbengkalai.
Salah satunya disoroti Menteri Kesehatan RI Prof Nila Moeloek periode 2014-2019. Tidak hanya sekadar pemenuhan gizi, kebersihan lingkungan, sanitasi, dan ketersediaan air bersih masih menjadi penyebab kasus stunting tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prof Nila merinci dalam temuan Fokus Kesehatan Indonesia, angka stunting yang tinggi sejalan dengan lingkungan atau sanitasi buruk. Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya, dengan persentasi stunting di atas 50 persen, lebih dari 20 persen warganya kekurangan air bersih.
Tren yang tidak jauh berbeda ditemukan di Papua Tengah. Lebih dari 60 persen warganya kesulitan mengakses air bersih. Walhasil, angka stunting relatif tinggi di atas 70 persen.
"Kalau menurut saya iya benar angka stunting yang turun hanya 0,1 persen juga berkaitan dengan sanitasi lingkungan," sambung dia.
Mengutip teori Blum, Prof Nila menjelaskan derajat kesehatan ditentukan sekitar 30 hingga 40 persen oleh kondisi lingkungan.
"Itu karena perilaku kita, kita akui kita sering buang sampah di sungai, perilaku kita menyebabkan polusi, belum lagi sekarang climate change."
"Sudah jelas sekarang lingkungan udara kita juga seperti apa, seandainya perilaku lingkungan kita baik, sektor kesehatan sebetulnya nggak begitu banyak pekerjaan, karena hanya 10 persen yang akibat genetik," tutur dia.
Prof Nila mengingatkan angka stunting berdampak pada rata-rata IQ masyarakat Indonesia. Ia mengaku miris melihat data umumnya IQ warga Indonesia berada di bawah 100, imbas stunting.
Stunting ditekankan Prof Nila perlu dicegah sejak sebelum mengandung, termasuk pemberian tablet penambah darah demi memastikan ibu tidak mengalami anemia. Intervensi pasca melahirkan cenderung relatif terlambat.
"Karena IQnya nanti tetap masih di bawah 100," terangnya.
(naf/kna)