ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Laporan kasus bunuh diri dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip) bak memperkuat perundungan dalam proses pendidikan dokter spesialis masih terus berlanjut. Sudah jadi rahasia umum sejumlah keluhan yang dialami para residen tidak hanya meliputi perundungan secara verbal, melainkan beberapa di antaranya adalah tekanan fisik, dan materi.
Beban Jam Jaga
Kepada detikcom, beberapa residen sempat memberikan kesaksian mereka selama menjalani PPDS. (F) yang saat itu masih menjadi residen, dibebankan tambahan jam malam sehingga waktu istirahatnya hanya tersisa satu sampai dua jam selama satu hari penuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum lagi, permintaan materi yang lumayan banyak menguras uang sakunya selama PPDS. Setiap hari, F selalu diminta untuk menyiapkan makanan tiga kali sehari dengan uang pribadi. Tanggungannya relatif tidak sedikit, karena diminta menyiapkan kebutuhan lebih dari lima senior.
"Padahal saat itu saya juga butuh untuk keperluan kost, minta makanannya juga kadang macem-macem," tutur F.
Cacian dan Makian
Pengakuan lain dari (G) juga sempat ramai disorot, saat istrinya yang menjalani PPDS tak kuat menanggung beban cacian, makian senior dengan tambahan tugas yang sehari-hari di luar batas wajar.
"Biaya kuliah saja sudah berpuluh-puluh juta, ditambah sering harus menyediakan barang yang diminta senior 'at all cost'. Jika tidak, Anda akan dicibir oleh senior, dihukum dengan tugas tambahan dan sebagainya," cerita G kala itu, kepada detikcom.
"Pernah meeting sampai dini hari hanya untuk mendengarkan omelan dari senior. Lalu jam 5 pagi harus kembali ke kampus atau RS," lanjut G.
Pengaruh Nilai 'Darah Biru'
Kesulitan pembelajaran selama PPDS tidak hanya diwarnai bullying, tetapi juga kentalnya budaya 'darah biru', yang rupanya berpengaruh banyak pada pemberian nilai.
(MK) yang menjalani masa klinik dan pre klinik di FKG salah satu universitas di Indonesia ikut merasakan imbasnya.
"Kalau dia ada hubungan keluarga, ponakan, sudah itu mah sakti. Nggak akan kena apapun, malah dia diistimewakan," cerita (MK) kepada detikcom beberapa waktu lalu, pria yang kala itu baru selesai menjalani masa klinik dan pre klinik di FKG salah satu universitas di Indonesia.
"Contoh nih ya gigi kamu patah, terus aku tambal nih, tambal, udah paling bagus lah paling rapi. Tapi, kalau dosennya lagi pusing, lagi stres, lagi uring-uringan, tambalan sebagus apapun itu nggak di-acc. Beda cerita kalau (misalnya) aku keponakan dosen anu, profesor anu, dosen yang tadi dosen udah pulang, terus misalnya di-WA mau acc, yasudah fotokan saja (dipermudah)," lanjut MK.
NEXT: Dipalak puluhan juta
Simak Video "Serba-serbi Pendaftaran PPDS Hospital Based yang Baru Dibuka Kemenkes"
[Gambas:Video 20detik]