ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Warpat di kawasan Puncak, Bogor tinggal kenangan. Warung-warung sederhana itu rata dengan tanah.
Sudah hampir setahun sejak terakhir kali pergi ke kawasan Puncak, Bogor. Waktu itu masih banyak bangunan yang berada di sepanjang jalanan dengan berlatar kebun teh.
Hawa dingin nan sejuk membuat kami menghentikan kendaraan di salah satu tikungan sebelum Masjid Atta'Awun Puncak. Kala itu, kami, tim detikTravel, sedang membuat liputan khusus tentang getok harga di kawasan tersebut, ya parkir, ya makan dan minum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata salah satu pedagang, penetapan tarif yang dikenakan kepada traveler terbilang wajar. Karena, mereka yang datang ke warung-warung itu juga berlama-lama di warung alias tidak pulang-pulang, seperti menginap, namun dengan hanya memesan minum dan makan sekali.
Pedagang di Puncak menggetok harga untuk secangkir kopi sampai Rp 100 ribu. Sebabnya ternyata turis menginap di warungnya tapi tidak bayar.
"Masalah harga itu perlu dipahami, dikaji misalkan. Ada yang dibilang wajar, ada yang dibilang kurang ajar. Misalkan kopi bisa sampai Rp 100 ribu satu gelas karena mereka nginep di warung semalaman. Warung itu bukan penginapan atau vila," kata seorang pedagang yang menyebut dirinya Koordinator Pedagang Puncak Bogor, Dadang Sukendar, dalam perbincangan dengan detikTravel waktu itu.
Lalu, perjalanan kami berhenti di lokasi yang sangat ikonik dan masih masuk kawasan Kabupaten Bogor, bernama Warpat. Warung Patra. Konon, nama itu berasal dari pengunjung awal warung-warung kecil yang muncul di sana pada 2011, siswa SMAN 82 Jakarta yang disebut Patra 82.
Di siang hari saat hari kerja, warung-warung yang mirip foodcourt ini terbilang ramai. Traveler yang mengunjungi Warpat dapat memesan aneka minuman dan makanan instan. Ada pula menu yang bukan mi instan, nasi dan ayam ditambah sambal dan lalapan.
Warpat adalah warung-warung ala warung kopi, warkop. Warung itu menjadi spesial karena berada di tempat istimewa.
Ya, lokasinya berada di titik tertinggi kawasan Puncak yang langsung berbatasan dengan Cianjur di sisi setelahnya. Warung itu kerap menjadi tempat singgah para pengendara sepeda motor atau mobil yang memang berniat Puncak atau hanya melintas untuk menuju kota lain.
Dengan hawa yang sejuk, makan dan minum hidangan hangat atau sekaligus menumpang buang hajat plus memandangi kebun teh sejauh mata memandang menjadikan warung itu spesial.
Ada satu catatan kurang menyenangkan yang membekas dalam benak penulis selain getok harga itu. Keberadaan Warpat dan PKL itu seperti sebuah kesalahan. Karena, kebun teh yang berada di bawahnya pun sangat kotor dengan begitu banyak traveler yang membuang sampah sembarangan di sana.
Yang membuat Warpat menjadi istimewa dan menjadi jujugan hanyalah lokasinya yang berada di titik tertinggi, berpemandangan luas dan parkir yang cukup baik untuk motor. Lainnya, kemelut getok parkir Rp 100 ribu dan kenaikan harga makanan menjadi kisah tahu sama tahu antara pedagang dan pengunjung. Meski bikin kesal, tetapi setiap kali melintasi Puncak, masak enggak mampir, sih?
Warpat di Puncak Bogor (Rizky/detikcom).
Kini, Warpat dan kawan-kawan yang berdiri di lahan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) direlokasi. Mereka akan ditampung di kawasan Rest Area Gunung Mas yang berada di bawah area kebun teh.
Bahwa, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, Jawa Barat telah berjanji menampung Pedagang Kaki Lima (PKL) kawasan wisata Puncak, yang terkena penertiban. Kios di Gunung Mas telah terisi 50 persen dan lahan tambahan segera disediakan.
Para pedagang itu menyadari betul tanah itu milik pemerintah. Penertiban, istilah yang dipakai Pemerintah Kabupaten Bogor, pada Senin (26/8/2024) yang merupakan penertiban tahan II, sebanyak 17 bangunan dibongkar mandiri oleh para pedagang yang berjualan di Warpat. Itu menjadi penertiban tahap I yang dilakukan pada akhir Juni 2024.
Salah satu PKL yang ada di sana, Fajar, melakukan pembongkaran mandiri bangunan warung di sana. Dia sangat mendukung penertiban tahap II itu dan mengapresiasi kinerja pemerintah.
Tetapi, ada satu hal yang mengganjal sehingga dia meminta keadilan untuk para pedagang di Jalan Raya Puncak itu. Dia menyoroti Rumah Makan Astro atau Asep Stroberi yang masih kokoh berdiri tidak tersentuh.
Tidak dibongkarnya bangunan Astro saat pelaksanaan penertiban tahap II di kawasan wisata Puncak itu menimbulkan kecemburuan para pedagang kaki lima (PKL). Beberapa di antaranya bahkan melempari bangunan Astro dengan telur untuk melampiaskan kekecewaannya
"Bisa dilihat sendiri bahwa hari ini saya bongkar mandiri. Saya tidak menyusahkan pemerintah dan saya tidak menghalang-halangi program pemerintah. Kita mendukung dan mengapresiasi akan tetapi tolong gunakan keadilan dan kebijakan sebijak-bijaknya, dengan masih berdirinya Asep Stroberi di tengah pembongkaran tolong dievaluasi perizinannya saya minta ke DKPP tolong dievaluasi perizinannya," katanya kepada detikTravel di lokasi pembongkaran, Senin (26/8).
Bangunan Asep Stroberi di lahan eks Rindu Alam itu sempat masuk masuk dalam daftar 196 bangunan liar yang menjadi target penertiban tahap II di kawasan wisata Puncak. Kemudian, mengacu pada hasil Rapat Pembahasan Forum Penataan Ruang Daerah pada Kamis (15/8), PT Jaswita masih memungkinkan untuk memperoleh izin dengan mempertimbangkan status lahan maupun sempadan yang dinilai memenuhi persyaratan.
Penjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor Suryanto Putra di Cisarua menjelaskan rumah makan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Provinsi Jawa Barat PT Jasa dan Kepariwisataan atau Jaswita itu sedang mengurus penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
"Berdasarkan tata ruang yang ada bahwa kawasan itu kawasan perkebunan, peruntukan ruangnya perkebunan, dan berdasarkan ketentuan zonasi Perbup 92 tahun 2018, bahwa peruntukkan ruang perkebunan itu dimungkinkan adanya rumah makan," kata Suryanto.
Tanpa Warpat, yang ikonik di kawasan Puncak tidak akan sama lagi. Harapan kondisi yang lebih baik sesuai yang dijanjikan Pemkab Bogor, bagi wisatawan dan PKL, tetap ditunggu.
Semoga dengan adanya penertiban itu membuat kawasan Puncak semakin baik, bersih dari sampah, dan tertata sesuai peruntukannya. Traveler pun dapat terhindar dari getok harga dan getok tarif parkir. Tetapi, jangan sampai penggusuran itu justru melumpuhkan perekonomian warga dan hanya mendukung kepentingan segelintir pengusaha.
(msl/fem)