ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Ratusan tahun silam, ketika Sumenep masih berupa kerajaan, sebagian warganya sudah memiliki keahlian menjadi empu atau pembuat keris.
Bagi penduduk Desa Aeng Tong Tong sekarang, keris bukan lagi sekadar karya seni bernilai filosofi tinggi tetapi telah menjadi warisan budaya tak benda yang menggerakkan perekonomian warga.
Berlokasi di Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep, tepatnya di ujung timur Pulau Madura, kita akan menjumpai sebuah kawasan penerima Anugerah Desa Wisata terbaik dan juga telah dinobatkan UNESCO sebagai desa wisata dengan jumlah empu keris terbanyak di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setidaknya ada 446 empu keris yang masih eksis hingga saat ini, sesuai data dari Dinas Pariwisata Sumenep.
Selain empu keris, industri kreatif ini juga menyerap ratusan tenaga kerja pendukung sebagai pandai besi, penatah ukiran, pembuat warangka atau gagang keris hingga pedagang keris dan kolektornya.
Secara etimologi, nama Desa Aeng Tong-tong berarti air yang dijinjing dalam bejana. Sesuai letak geografisnya yang berada di lereng bukit berbatu-batu, maka air yang diambil dari mata air memang melalui perjalanan dalam bejana.
Ketika mengunjungi Desa Aeng Tong Tong dalam rangkaian acara Dream Destination Sumenep belum lama ini, saya melihat secara langsung bagaimana empu keris bekerja menempa bilah-bilah besi, mengukirnya dengan gerinda dan mengukirnya untuk membuat motif yang menawan.
Bagi kolektornya, motif keris tak hanya bernilai estetika tinggi tetapi juga mengandung falsafah kehidupan yang umumnya terkait dengan ajaran moral. Hal inilah yang membuat harga keris menjadi sangat bervariasi.
Namun tak semua keris yang dihasilkan di desa ini berharga mahal, karena keris juga bisa dipesan sebagai suvenir dengan harga terjangkau. Bahkan suvenir untuk even bertaraf internasional seperti Konferensi Tingkat Tinggi G20 pun dipesan dari tempat ini lho. Hebat ya!
Menjelang senja, terbalut gradasi jingga, Desa Aeng Tong-tong yang tenang terlihat menawan dengan sawah, ladang tembakau, kebun kelapa, dan perbukitan yang mengelilinginya.
Lenguhan sapi peliharaan warga sesekali terdengar, membawa saya kembali ke masa lalu, ketika mengunjungi rumah nenek di desa.