Tonggak Orde Baru di Antara Jasmerah dan Majuisme

3 weeks ago 17
ARTICLE AD BOX
winjudi situs winjudi online winjudi slot online winjudi online slot gacor online situs slot gacor online link slot gacor online demo slot gacor online rtp slot gacor online slot gacor online terkini situs slot gacor online terkini link slot gacor online terkini demo slot gacor online terkini rtp slot gacor online terkini Akun slot gacor online Akun situs slot gacor online Akun link slot gacor online Akun demo slot gacor online Akun rtp slot gacor online informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya winjudi

Jakarta -

Tak setelah mendamprat dan mengusir seorang pengusaha yang dinilainya lancang karena meminta jatah 2,5% atas penjualan saham PT Telkom, Martiono Hadianto dipanggil ke Cendana pada Juni 1995. Setiap ada pandangan Presiden yang tak sesuai, Hadianto yang menjabat Direktur Jenderal Pembinaa Badan Usaha Negara menjawab akan melaporkan pandangan tersebut kepada Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad.

"Ada tiga kali saya menjawab seperti itu," ujar Martiono dalam buku 'Tonggak Tonggak Orde Baru The Untold Story' jilid 1 karya wartawan senior Bambang Wiwoho.

Belakangan seorang temannya di Sekretariat Negara memberi tahu bahwa respons Martiono seperti itu keliru. Dia dianggap desersi dan tidak patuh kepada Presiden. Buntutnya, Martiono dicopot dari jabatannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena baru berusia 50 tahun, dikenal cakap dan berintegritas Marie menyelamatkan anak buahnya itu menjadi staf ahli. Baru setelah Soeharto lengser, oleh Bambang Subianto, koleganya yang menjadi Menteri Keuangan, ditarik menjadi Dirjen Bea Cukai selama enam bulan. Kemudian Martiono ditunjuk menjadi Dirut Pertamina 1998-2000.

Saat peluncuran buku Tonggak Tonggak Orde Baru di restoran di kawasan Cilandak, Kamis (15/8/2024) Martiono hadir. Kepada Guru Besar FE-UGM Prof Gunawan Sumodiningrat yang memandu acara, dia mengingatkan hadirin agar tidak melupakan sejarah. Sebab apapun pemerintah dan siapapun Presidennya, memiliki sisi positif.

"Jangan dilihat negatifnya saja. Misalnya Pak Harto. Sejak dilantik pada Maret 1968 hingga jatuh pada Mei 1998, beliau membawa Indonesia dari negara miskin terbelakang menjadi berkembang," ucapnya.

Dalam istilah Bung Karno apa yang disampaikan Martiono adalah Jasmerah, atau Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Turut memberi komentar tokoh Malari 1974 Hariman Siregar. Meski merasa sedih mengikuti dan menyimak dengan kondisi politik pasca Pilpres, demi kebaikan negara, rakyat tetap harus melangkah. Ia menyebut sikapnya itu sebagai 'Majuisme'.

"Kita mesti melihat sejarah untuk bergerak maju. Menuju Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Majuisme itu biar kita gak terus-terusan bongkar-pasang," kata Hariman bijak.

Selain Martiono dan Hariman turut hadir dalam acara peluncuran mantan Dirjen Energi Terbarukan Luluk Sumiarso, Marsekal TNI (purn) Imam Sufaat, KSAU periode November 2009 - Desember 2012, Laksamana (Purn) Ade Supandi, KSAL periode Desember 2014 - Mei 2018, mantan Wagub DKI Mayjen TNI (Purn) Priyanto, penulis buku 'Geger Pecinan' Daradjadi Gondodiprojo, serta para wartawan senior seperti Parni Hadi, Yasso Winarto, dan Banjar Chaerudin.

Bambang Wiwoho yang pernah berkiprah di Suara Karya pada awal 1970 dan Panji Masyarakat di pengujung Orde Baru hingga awal Reformasi menulis Tonggak Tonggak Orde Baru sebanyak tiga jilid. Ia menulis sebagai siasat agar tetap waras selama dua tahun dikungkung pandemic Covid-19.

Melalui tiga buku yang ditulis-nya, Wiwoho ingin menyodorkan sebuah timbangan yang tidak berat sebelah, dan ingin mengajak pembaca untuk melihat pemerintahan Orde Baru dari sisi buruk dan baiknya. Buku pertama dengan sub judul 'Jatuh Bangun Strategi Pembangunan' antara lain mengupas bagaimana Presiden Soeharto dan tim ekonomi mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Hal itu ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan multi nasional yang melakukan investasi besar-besaran dengan leluasa di Indonesia pada akhir 1960-an.

Strategi ini dimaksudkan untuk menciptakan kue pertumbuhan lebih dulu untuk kemudian dilakukan pemerataan sesuai teori 'menetes ke bawah'. Tapi yang terjadi kemudian strategi pertumbuhan ini secara cepat dan kasat mata mempertontonkan ketidakadilan di dalam masyarakat. Strategi tersebut melahirkan persekongkolan kekuatan ekonomi dengan kekuasaan politik.

Buku kedua dengan subjudul "Musuh Terbesar: Kesenjangan Bernuansa Sara & Ekstremisme" antara lain mengulas cara Presiden Soeharto merekrut para menterinya, penggalangan citra di masa Orba, RUU-RUU yang digarap puluhan tahun, hingga gerakan kebangkitan Islam. Di buku yang diterbitkan Kompas Penerbit Buku, Wiwoho melengkapinya dengan satu bab baru yang mengulas 'Laku Spiritual Pak Harto'.

Di buku ketiga, Wiwoho memberi judul Kejatuhan Soeharto dan Ancaman Pembelahan Bangsa. Dia antara lain menyebut lengsernya Soeharto mirip dengan kejatuhan Amangkurat I. Bila Amangkurat dijatuhkan oleh pemberontakan yang diprakarsai puteranya sendiri, Soeharto turun oleh desakan massa dan orang-orang terdekatnya yang mendadak mundur.

"Kita mesti melihat sejarah masa lalu untuk bergerak maju ke depan, kita ingin Indonesia yang lebih baik, sejahtera dan maju. Buku ini, saya kira, mendorong kita untuk memperkuat keindonesiaan menghadapi masa depan,'' imbuhnya.

Total, Bambang Wiwo...

Read Entire Article