ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Jaksa menghadirkan Ayu Lestari Yusman selaku manajer keuangan PT Refined Bangka Tin (RBT) sebagai saksi dalam kasus korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Saksi mengungkap keuntungan fantastis yang diraup PT RBT dalam tiga tahun sejak bekerja sama dengan PT Timah Tbk.
Hal itu disampaikan saksi saat memberikan keterangan di sidang Harvey Moeis, Suparta dan Reza Andriansyah, di PN Tipikor Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (9/9/2024).
"Pendapatan dari mana, ekspor saja atau yang lainnya ada?" tanya jaksa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada. Di tahun 2018 kami menerima pendapatan sewa jasa penglogaman dan pemurnian dari PT Timah," jawab Ayu.
"Sebelumnya melulu dari ekspor?" tanya jaksa.
"Iya," timpal Ayu.
"2018 sampai kapan pembayarannya dari PT Timah?" tanya jaksa.
"Sampai 2020," jawab Ayu.
Jaksa lalu bertanya keuntungan yang didapat PT RBT sejak bekerja sama dengan PT Timah mulai 2018 silam. Ayu mengungkap dalam tiga tahun durasi kerja sama mereka, PT RBT mendapatkan puluhan hingga ratusan miliar setiap tahunnya.
"Bawa data pembayaran dari PT Timah?" tanya jaksa.
"Ada. 2018 kami menerima pendapatan dari PT Timah Rp 69.346.709.9502," jawab Ayu.
"2019?" tanya jaksa.
"2019 kami menerima pendapatan sebesar Rp 736.570.868.473 dari sewa peralatan ke PT Timah," jawab Ayu.
"2020?" tanya lagi jaksa.
"Tahun 2020 kami menerima pendapatan sebesar Rp 315.584.116.009," timpal Ayu.
Secara keseluruhan PT RBT mendapatkan Rp 1,1 triliun dalam tiga tahun kerja sama dengan PT Timah.
"Jadi, total sekitar Rp 1?" tanya jaksa.
"Rp 1,1 triliun," jawab Ayu.
Keuntungan yang didapat oleh PT RBT berbanding terbalik dengan yang diterima PT Timah. Dalam rentang tiga tahun kerja sama keduanya, PT Timah justru mengalami kerugian.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Keuangan PT Timah TBK, Vina Eliani, saat dihadirkan jaksa sebagai saksi pada Kamis (29/8). Vina mengakui program kerja sama antara PT Timah dan smelter swasta dilakukan tanpa kajian risiko.
"Tadi Ibu jelaskan setiap program di PT Timah harus terbuat dalam RKAB (rencana kerja dan anggaran biaya). Kemudian, untuk program-program yang strategis tadi Ibu jelaskan, harus ada kajian risiko ya. Saya mau mempertegas, terhadap ada beberapa kegiatan, ada mitra IUJP, sisa hasil pengolahan, sewa smelter, Ibu bisa pastikan apakah program-program yang dimaksud itu telah dilaksanakan analisa risikonya nggak?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (29/8).
"Terkait kajian risiko pada saat pemeriksaan saya sudah sempat ditanyakan oleh penyidik, apakah pernah dilakukan kajian risiko. Saya tanyakan ke Divisi terkait, khusus IUJP dan transaksi sewa smelter, dan SHP memang belum pernah dibuatkan kajian risikonya," jawab Vina.
Vina mengakui jika PT Timah untung Rp 38 miliar pada 2018. Sementara PT Timah merugi Rp 611 miliar pada 2019 dan Rp 340 miliar pada 2020.
"Tadi penjelasan ibu secara historis, di neraca di tahun 2018 PT Timah untung Rp 38 miliar betul, Bu, ya?" tanya jaksa.
"Betul," jawab Vina.
"Kemudian, kerugian mulai dialami tahun 2019 senilai Rp 611 miliar, kemudian di tahun 2020 Rp 340 miliar. Betul, Bu?" tanya jaksa.
"Betul," jawab Vina.
Jaksa mengatakan kerja sama antara PT Timah dan smelter swasta masih berlangsung hingga 2020. Lalu, Vina mengatakan PT Timah mulai untung pada 2021 sebesar Rp 1,3 triliun.
Vina mengatakan kerja sama PT Timah dengan smelter swasta termasuk PT Refined Bangka Tin (PT RBT), yang diwakili Harvey Moeis, berakhir pada 2020. Jaksa kembali menegaskan ke Vina jika PT Timah kembali untung saat program kerja sama itu berakhir.
"Sepengetahuan Ibu, itu setelah perjanjian dihentikan atau masih ada kerja sama dengan smelter?" tanya jaksa.
"Untuk kerja sama dengan RBT, setahu saya sudah berakhir sejak Desember tahun 2020," jawab Vina.
"Berarti keuntungan itu diperoleh tadi setelah berhenti kerja sama?" tanya jaksa mempertegas.
"Iya di tahun 2021 memang dari sisi harga cukup tinggi, di atas 38 ribu dolar," jawab Vina.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
"Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, m.b. Gunawan, Robert...