ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan alasan di balik pelarangan untuk memelihara dan memperjualbelikan ikan Aligator Gar di Indonesia. KKP menyebut bahwa ikan pemangsa ini berpotensi membahayakan populasi ikan lain serta dapat merusak ekosistem perairan.
Larangan ini sendiri telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 19/PERMEN'KP/2020 tentang Larangan Pemasukan, Pembudidayaan, Peredaran, dan Pengeluaran Jenis Ikan yang Membahayakan dan/atau Merugikan ke Dalam dan Dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Pung Nugroho Saksono menjelaskan bahwa ikan Aligator Gar termasuk dalam jenis ikan yang membahayakan dan/atau merugikan yang bersifat buas atau pemangsa bagi ikan spesies lain apabila lepas di perairan Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aligator Gar bukan ikan yang berasal dari Indonesia. Apabila ikan ini lepas ke perairan umum, bisa mengancam penurunan populasi ikan lainnya dan akan merusak ekosistem perairan tersebut," terang pria yang akrab disapa Ipunk itu, Senin (16/9/2024).
Ipunk menambahkan, hingga saat ini sudah banyak kasus ekosistem perairan yang rusak akibat keberadaan ikan berbahaya maupun merugikan tersebut.
Di Waduk Sermo, Daerah Istimewa Yogyakarta, populasi ikan red devil telah mengalahkan ikan endemik waduk tersebut, di antaranya ikan nila, wader, nilem dan tawes.
Selain itu, di Waduk Wonorejo juga ditemukan ikan red devil yang menginvasi waduk tersebut. Kemudian pada sungai-sungai di Palembang, populasi ikan belida turut terancam punah akibat keberadaan ikan sapu-sapu.
Belum lagi ekosistem Danau Toba, danau terbesar di Indonesia, yang juga telah rusak akibat invasi ikan red devil, sehingga ikan batak, ikan mas, ikan jurung, mujair, pora-pora dan tiri-tiri kini langka ditemukan di perairan tersebut.
Plt. Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan, Suharta, mengungkapkan, KKP melalui Direktorat Jenderal PSKDP dalam kurun dua tahun terakhir (2023-2024) telah melakukan 18 kali penindakan terhadap ikan berbahaya dan/atau merugikan tersebut.
Ikan Aligator Gar Foto: Dok. KKP
Langkah itu dilakukan bersama bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi/Kabupaten/Kota dan POLAIRUD. Lokasi penindakan di DI Yogyakarta, Jakarta, Blitar serta Pontianak.
Sebanyak 186 ikan berbahaya dan/atau merugikan yang terdiri dari Arapaima, Aligator Gar, dan Piranha telah dimusnahkan dalam operasi pengawasan tersebut.
"Tak hanya penindakan, kami juga melakukan upaya preventif melalui edukasi kepada pelaku usaha pembudidaya ikan, penghobi ikan hias, pedagang ikan hias, serta POKMASWAS mengenai larangan memelihara dan/atau melepasliarkan ikan berbahaya dan/atau merugikan. Terakhir kami lakukan di Blitar dan DIY," jabar Suharta.
Suharta berharap, melalui kerja sama dan partisipasi masyarakat dalam turut serta memusnahkan keberadaan ikan berbahaya dan/atau merugikan di Indonesia, ekosistem perairan Indonesia dapat terus terjaga.
Hal ini sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan melalui Ekonomi Biru.
Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meminta jajarannya untuk mengawasi ketat keberadaan ikan-ikan pemangsa yang membahayakan ekosistem perairan.
Dia juga meminta jajarannya untuk terus mensosialisasikan larangan memelihara ikan-ikan tersebut agar masyarakat dapat memahami dampak buruk dari kerusakan ekosistem.
Seperti diketahui, belakangan ini Ikan Aligator menjadi perhatian publik terutama di Jawa Timur. Ikan itu menjadi perbincangan karena seorang kakek bernama Piyono (61) dibui selama 5 bulan gegara memelihara ikan aligator, padahal di pasar-pasar masih banyak orang berjualan.
Dia ditangkap dengan tuduhan melakukan pelanggaran tindak pidana perikanan yakni Pasal 88 Jo Pasal 16 ayat (1) UU RI Nomor 31 Tahun 2024 tentang Perikanan Jo PERMEN-KP RI No.19/ PERMEN-KP/ 2020.
Persoalan yang menjerat Piyono berlanjut hingga masuk dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Malang kelas IA pada Senin (9/9/2024). Dalam sidang, majelis hakim menjatuhkan vonis 5 bulan kepada terdakwa.
(ada/das)