ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pakar hukum tata negara, Feri Amsari, mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) boleh saja memutus hal-hal yang menurut hakim inkonstitusional. Hal ini dikatakannya merespons putusan MK mengenai pengusungan calon kepala daerah dan batas usia calon kepala daerah.
"Tidak ada soal pemilihan kepala daerah sebagai open legal policy, yang ada adalah soal tata cara pemerintahan daerah, dua hal berbeda yang harus dipahami oleh banyak orang," ujar Feri Amsari kepada wartawan, Rabu (21/8/2024).
Menurut Feri, pilkada itu bukan merupakan open legal policy atau kebijakan hukum bersifat terbuka. Karena itu, menurut dia, MK bisa mengubah aturan pilkada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
"Jadi Mahkamah Konstitusi bukan saja boleh untuk mengatur hal-hal yang menurut mereka inkonstitusional agar ditertibkan kembali. Dalam konteks putusan 60 dan 70, Mahkamah memandang perlu telah terjadi pelanggaran konstitusional dan tugas merekalah kemudian menyesuaikan kehendak UUD berdasarkan keyakinan hakim," jelasnya.
Feri mengatakan putusan MK itu wajib dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan, itu melanggar konstitusi.
"Tidak boleh kemudian apa yang telah diputus hakim itu direkayasa secara politik, itu artinya tidak patuh keputusan MK, dan sengaja melawan apa yang dikehendaki konstitusi melalui putusan MK," katanya.
"Semua orang boleh tidak suka, pilihan politik bisa beda-beda, tapi putusan MK wajib dipatuhi, boleh dikritisi tapi jangan dilanggar," imbuhnya.
Putusan MK
Sebelumnya diberitakan, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional. MK mengatakan esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya.
MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada.
MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat (1). MK pun mengubah pasal tersebut.
Selain itu, MK menolak gugatan perkara 70/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh A Fahrur Rozi dan Antony Lee. Gugatan itu mengenai syarat usia calon kepala daerah.
(zap/imk)