ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kekhawatiran dari migrasi bisphenol A (BPA) juga kerap dikaitkan dengan risiko kanker. Dokter spesialis penyakit dalam Dr dr Andhika Rachman, SpPD-KHOM, menegaskan, belum ada bukti kuat keterkaitan keduanya.
Riset terkait BPA memicu kanker selama ini baru dilakukan dalam uji coba hewan, belum ada laporan kasus yang tercatat BPA menjadi pemicu kanker. Mengingat, 90 persen paparan BPA ke tubuh bisa dikeluarkan dalam urine dan feses.
Meski begitu, dr Andhika tidak menampik kemungkinan 10 persen senyawa BPA bisa menjadi pemicu gangguan hormon estrogen. "Bisa mungkin terjadi masalah di rahim, muncul polic, muncul kista, dan sebagainya," beber dr Andhika dalam detikcom leaders forum, Selasa (21/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, perlu dilihat faktor risiko lain pada pasien. Dalam kebanyakan kasus, risiko kanker semakin tinggi pada mereka dengan 'bakat' kanker atau riwayat genetik kanker, sehingga dalam jumlah relatif kecil, atau 10 persen saja, bisa menjadi pemicu.
"Tapi lagi-lagi ini belum ada studi di manusia," tuturnya.
Senada, spesialis gizi klinik dr Karin Wiradarma, M Gizi, SpGK menyebut riset sejauh ini belum membuktikan adanya kausalitas atau hubungan sebab-akibat antara kanker dan BPA.
"Kausalitas belum ada pada manusia karena penelitian belum dilakukan selama ini hanya pada hewan, uji coba penelitian, observasional, jadi dipantau saja," bebernya.
"Oh ternyata ini yang pada kanker infertil, oh kandungan BPA-nya tinggi, cuma perlu dilihat dari faktor lainnya juga yang bisa menyebabkan kanker," sambung dia.
Terlebih, menurut dr Karin, tingkat tolerir ginjal usia dewasa kepada migrasi BPA berada lebih dari dua. Jauh dari ambang batas aman yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI), yakni 0,6 bpj (600 mikrogram/kg)
"Semakin besar usianya, livernya itu sudah lebih matang, sudah lebih bisa mendeteksi ini BPA, beda dengan kelompok bayi dan anak,"
(naf/up)