ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Ahli Hukum Tata Negara Universitas Pakuan Andi Asrun menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pengusungan calon kepala daerah, politis. Andi menyebut MK inkonsisten.
"Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 tentang perubahan syarat pengusulan Calon Kepala Daerah memperlihatkan inkonsistensi MK, bahkan politis," ujar Andi kepada wartawan, Rabu (21/8/2024).
Andi mengatakan putusan yang diketok menjelang ujung pendaftaran Calon Kepala Daerah, terutama Pilkada Jakarta, terlihat memberi ruang kepada PDIP. Andi juga menyebut MK tidak etis atas pertimbangan hukumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jelas sekali Putusan MK ini memberi jalan bagi PDIP tertolong untuk mengajukan cagub-cawagub akibat Putusan MK ini. Ucapan tidak etis juga muncul dalam sidang MK 'akan membatalkan hasil Pilkada bila mengabaikan Putusan MK ini'," katanya.
"MK juga lupa ada Putusan MA tentang usia calon Kepala Daerah 30 tahun saat penetapan pasangan calon Kepala Daerah. Putusan MK tentang jelas dibuat tanpa memperimbangkan Putusan MA. Tidak heran bila publik bertanya-tanya apa yang dipatuhi, putusan MA atau putusan MK," imbuhhnya.
Selain itu, MK juga dinilai inkonsistensi. Sebab, menurut Andi aturan mengenai pilkada ini adalah open legal policy atau kebijakan hukum bersifat terbuka.
"Putusan MK juga perlihatkan inkonsistensi, karena selama ini Jurisprudensi Putusan MK memperlihatkan MK tidak mengurusi soal 'batasan usia pejabat publik, atau syarat prosentasi suara atau kursi untuk Calon Presiden' sebagai open legal policy sebagai kewenangan pembuat undang-undang," jelasnya.
Putusan MK
Diketahui, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
"Jadi Mahkamah Konstitusi bukan saja boleh untuk mengatur hal-hal yang menurut mereka inkonstitusional agar ditertibkan kembali. Dalam konteks putusan 60 dan 70, Mahkamah memandang perlu telah terjadi pelanggaran konstitusional dan tugas merekalah kemudian menyesuaikan kehendak UUD berdasarkan keyakinan hakim," jelasnya.
Feri mengatakan putusan MK itu wajib dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan maka itu melanggar konstitusi.
"Tidak boleh kemudian apa yang telah diputus hakim itu direkayasa secara politik, itu artinya tidak patuh keputusan MK, dan sengaja melawan apa yang dikehendaki konstitusi melalui putusan MK," katanya.
"Semua orang boleh tidak suka, pilihan politik bisa beda-beda, tapi putusan MK wajib dipatuhi, boleh dikritisi tapi jangan dilanggar," imbuhnya.
Sebelumnya diberitakan, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada inkonstitusional. MK mengatakan esensi pasal tersebut sama dengan penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU 32/2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK sebelumnya.
MK mengatakan pembentuk UU malah memasukkan lagi norma yang telah dinyatakan inkonstitusional dalam pasal UU Pilkada.
MK kemudian menyebut inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) UU Pilkada itu berdampak pada pasal lain, yakni Pasal 40 ayat (1). MK pun mengubah pasal tersebut.
Selain itu, MK juga menolak gugatan perkara 70/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh A Fahrur Rozi dan Antony Lee. Gugatan itu mengenai syarat usia calon kepala daerah.
(zap/imk)