ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Kota yang berada di jantung Sulawesi Selatan ini memang punya pesonanya tersendiri. Walau tidak ada pantai, tapi mereka mampu menarik wisatawan dari berbagai negara.
Eksistensi pariwisata kota ini mencapai puncaknya pada tahun 80-an. Pada tahun ini juga, rumah tongkonan (rumah adat Toraja) nampak gagah di uang pecahan Rp 5.000. Di kota ini, kalian bisa melihat bagaimana modernisasi tak mengikis tiang budaya dan adat mereka. Rumah tongkonan yang berdiri megah di tengah hamparan sawah pun masih eksis hingga detik ini.
Begitu juga dengan upacara adat peninggalan nenek moyang. Masih dilaksanakan dengan meriah tanpa mengurangi maknanya. Bahkan dengan kemajuan teknologi, mampu membawa nama Toraja pada eksistensinya lagi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada tiga upacara adat Toraja yang pernah aku saksikan langsung, yaitu Rambu Solo' yang merupakan salah satu upacara pemakaman termahal di dunia, Rambu Tuka' yang merupakan upacara adat wujud suka cita seperti syukuran rumah adat atau pernikahan, dan terakhir adalah Ma'nene atau lebih dikenal dengan upacara adat 'mayat berjalan'.
Ma'nene
Sebelum memutuskan kembali ke Toraja seorang diri, aku mencari referensi tentang upacara adat Ma'nene'. Kesan pertama yang aku tangkap adalah ngeri. Bagaimana tidak, upacara adat ini menampilkan jenazah yang sudah menjadi mummy.
Secara sederhana, Ma'nene adalah upacara adat yang bertujuan untuk memuliakan leluhur dengan cara menggantikan baju jenazah keluarga yang sudah dimakamkan. Setiap tahun, lokasi Ma'nene berbeda. Tergantung dari masing-masing daerah atau kesepakatan keluarga.
Upacara adat Ma'nene yang aku saksikan ini berada di Pangala'. Di sini, secara konsisten mengadakan Ma'nene setiap 3 tahun sekali. Upacara adat Ma'nene diawali dengan doa dan penyembelihan hewan ternak seperti babi atau kerbau.
Kemudian dilanjutkan dengan pembukaan liang loko' (kuburan tradisional Toraja berupa batu besar yang dipahat) atau patane (kuburan modern Toraja yang berbentuk seperti rumah). Kemudian, satu persatu peti dikeluarkan. Ada yang terbuat dari kayu dan ada pula yang dibungkus dengan kain berwarna merah (mereka menyebutnya balun).
Setelah peti dibuka, perasaan ngeri yang aku rasakan di awal berangsur-angsur sirna. Berganti dengan perasaan suka dan duka yang menjadi satu dengan tangis para keluarga. Ya, di momen inilah para anggota keluarga bisa bertemu dengan keluarga mereka yang telah tiada.
Kita bisa menyaksikan bagaimana orang-orang Toraja melepas rindu pada keluarganya dengan cara yang berbeda. Kemudian, para anggota keluarga membersihkan jenazah yang sudah menjadi mummy dengan hati-hati. Satu dua tetes air mata menerobos begitu saja dari mata seorang wanita yang menggunakan baju hitam dan topi bulat berwarna coklat. Mungkin beliau adalah seorang istri yang sedang melepas rindu pada mendiang suami.
Pelan-pelang tangannya mengusap kening jenazah yang berada di dalam peti. Sungguh ini momen paling romantis yang pernah aku saksikan. Tak hanya membersihkan jenazah, pada upacara adat Ma'nene, baju jenazah pun diganti.
Menggunakan baju baru lengkap dengan aksesoris seperti kacamata dan topi. Oh iya, sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa upacara adat ini disebut upacara adat mayat berjalan. Karena setelah jenazah dikeluarkan dari peti, jenazah akan dibawa berkeliling area pemakaman. Ya, seperti berjalan dengan cara dituntun.
Namun, pernah ada seorang warga yang bercerita bahwa zaman dahulu mayat tersebut memang berjalan sendiri dengan ritual khusus. Sejak awal aku menyaksikan Ma'nene, aku sangat takjub dengan kerjasama dan gotong royong masyarakat Toraja. Sebuah adat yang besar pasti akan terjaga kelestariannya dengan masyarakat yang kokoh dalam gotong royong.
Toraja, Antara Kopi, Alam, dan Budaya
Tak hanya upacara adatnya yang sukses membuat aku jatuh hati pada Tanah Para Raja ini. Alamnya yang indah hingga membuat kota ini menyandang julukan 'Negeri di Atas Awan' juga membuat aku betah di sini.
Sebut saja Lo'lai yang mempunyai pemandangan hamparan awan bak negeri di atas awan. Atau kampung Ollon dengan view gunung eksotis seperti di New Zealand.
Selain itu, bagi pecinta kopi, Toraja adalah kota yang wajib dikunjungi. Kenikmatan kopi Toraja sudah diakui dunia. Bahkan Jepang, secara konsisten mengimpor kopi dari Toraja.
Bagi seorang pekerja yang tinggal di Banjarmasin, berjibaku dengan udara panas khatulistiwa, mengunjungi Toraja seperti ngecharge diri. Puas-puasin mengisi paru-paru dengan udara segar dan kehidupan yang damai bebas dari tugas kantor.
Pulau Oksigen
Bukan di Toraja. Tapi di Jawa Timur. Kampung halamanku. Aku pun baru tau bahwa di Indonesia ada pulau yang disebut Pulau Oksigen dan Pulau Awet Muda. Pulau ini berada di Sumenep, sebuah kabupaten di Madura.
Kabupaten ini memiliki pulau unik bernama Gili Iyang. Pulau ini terkenal dengan kadar oksigen yang sangat tinggi, mencapai sekitar 21,5% lebih tinggi daripada rata-rata. Kondisi ini diyakini memberikan manfaat luar biasa bagi kesehatan, membuat penduduknya cenderung lebih panjang umur dan awet muda.
Keindahan alam yang asri dan lingkungan yang minim polusi turut mendukung kualitas udara yang istimewa ini, menjadikan Gili Iyang sebagai destinasi wisata kesehatan yang populer. Semoga aku bisa ngecharge diri dengan menikmati udara penuh oksigen di Gili Iyang.
Yuk ikut menjelajah keindahan Sumenep dengan mengirim cerita perjalanan kamu. Klik di sini .
(sym/sym)