ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pengamat hukum Hardjuno Wiwoho menyoroti kasus warga Bali, I Nyoman Sukena yang terancam 5 tahun penjara lantaran memelihara 4 landak Jawa yang dilindungi. Menurutnya penegakkan hukum kerap timpang terhadap rakyat kecil.
"Penegakan hukum seringkali timpang bagi rakyat kecil dan lebih kuat berpihak kepada mereka yang dekat dengan kekuasaan dan uang," kata Hardjuno melalui keterangan tertulis, Kamis (12/9/2024).
Menurutnya, apa yang terjadi pada Sukena menunjukkan timpangnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Dia menilai yang harus ditekankan dalam kasus tersebut yakni prinsip keadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya yang ditekankan adalah prinsip keadilan, bukan hanya hitam putih aturan yang tertulis dalam undang-undang," terangnya.
Hardjuno mengatakan, kasus Sukena ini juga menjadi catatan penting sosialisasi aturan tentang satwa yang dilindungi. Dia menilai apabila tidak ada sosialisasi, wajar masyarakat awam tak mengetahui soal aturan memelihara satwa dengan kategori langka tersebut.
"Seharusnya sosialisasi kepada masyarakat diperkuat, agar masyarakat tahu bahwa ada peraturan tentang memelihara satwa yang dikategorikan langka. Tanpa sosialisasi yang memadai, wajar jika masyarakat awam tidak mengetahui aturan ini," jelasnya.
Hardjuno menekankan bahwa asas ultimum remedium di mana hukuman pidana adalah upaya terakhir seharusnya diterapkan dalam kasus ini. Dia juga menambahkan bahwa dalam banyak kasus pidana lingkungan, pendekatan sanksi administratif lebih ditekankan untuk pencegahan dan pemulihan.
"Pidana jangan menjadi jalan pertama dalam setiap kasus. Penjara kita akan penuh jika setiap pelanggaran kecil langsung dihukum pidana. Pidana seharusnya menjadi opsi terakhir," jelasnya.
"Pidana tidak memperbaiki lingkungan, tetapi berfungsi untuk memberikan efek jera. Yang lebih penting adalah pemulihan dan pencegahan kerusakan.Penegakan hukum tidak boleh hanya tegas terhadap kasus kecil dan lemah terhadap kasus besar. Keadilan harus ditegakkan di semua lini, baik itu pada kasus satwa langka maupun kerusakan lingkungan besar yang masih belum terselesaikan," lanjutnya.
Sebelumnya, Warga Kabupaten Badung, Bali, bernama I Nyoman Sukena terancam 5 tahun penjara gara-gara memelihara landak-landak yang dia temukan di kebunnya. Sebab, landak-landak itu ternyata hewan langka.
Dilansir detikBali, Senin (9/9/2024), Sukena ditangkap polisi pada awal Maret 2024 atas laporan masyarakat. Dia kedapatan menyimpan empat landak itu di rumahnya.
Sidang untuk perkara ini sudah digelar pada 29 Agustus lalu. Saat itu, jaksa mengucapkan ancaman hukuman terhadap I Nyoman Sukena.
"Ancamannya, (pidana penjara) 5 tahun," kata jaksa penuntut umum (JPU) Dewa Ari saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (29/9).
Empat ekor landak yang dipelihara Sukena adalah landak Jawa atau Hysterix javanica. Landak tersebut merupakan satwa liar yang dilindungi. Kata JPU Dewa Ari, Sukena didakwa melanggar Pasal 21 ayat 2 a juncto Pasal 40 ayat 2 UU RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDA-HE). Begini bunyi pasalnya:
UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDA-HE
Pasal 21 ayat 2 a
Setiap orang dilarang untuk:
a. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
Pasal 40 ayat 2
Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Kenapa tak restorative justice?
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali Ketut Sumedana menjelaskan pihaknya tidak bisa menolak pelimpahan kasus itu dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali. Kejati Bali sebenarnya bisa menyetop kasus melalui pendekatan keadilan restoratif atau restorative justice (RJ). Namun Sumedana mengungkapkan keadilan restoratif tak bisa dilakukan terhadap kasus Sukena.
Menurutnya, Sukena, yang memelihara landak dilindungi, terjerat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAE). Kejaksaan RI hingga kini belum mempunyai petunjuk teknis operasional terkait pelaksanaan keadilan restoratif terkait UU tersebut.
"Karena sudah di pengadilan perkara sudah teregistrasi tidak bisa ditarik oleh JPU," kata Sumedana dalam keterangan tertulisnya kepada detikBali, Minggu (8/9) kemarin.
(dek/dek)