ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Sudah lama saya berangan-angan mencapai puncak Monas. Karena, meskipun sudah dua dekade tinggal di Jakarta, belum sekali pun saya mencapai puncak itu.
Seringnya karena kehabisan kuota, malas mengantre dan sedikit fobia ketinggian. Selama beberapa kali kunjungan ke Monas selama ini, saya hanya mencapai pelataran cawannya yang setinggi 17 meter itu.
Bila ditelusuri kembali, jarak antara ruang museum ke dasar cawan adalah 8 meter dan luas pelatarannya berukuran 45 x 45 meter. Angka-angka yang familiar bukan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagian dalam cawan berupa amphitheater dengan dinding melengkung mengikuti bentuk cawan, terbuat dari marmer.
Ruang ini dinamakan ruang kemerdekaan, dengan lambang negara Garuda Pancasila berukuran besar, peta kepulauan Indonesia, hingga naskah proklamasi yang tertulis dengan tinta berwarna emas di dindingnya.
Ketika saya berada di sana, ada rombongan turis berjumlah sekitar dua puluh orang tengah mengitari teks proklamasi itu. Pemandu wisata yang membersamai mereka membacakannya keras-keras, dan secara spontan seluruh peserta tour mengikutinya dengan hikmat.
Mencengangkan mendengar proklamasi dikumandangnya di ruangan yang penuh aura kemerdekaan itu. Tugu Monas yang resmi dibangun pada 17 Agustus 1961 itu sendiri sarat filosofi.
Tiang menaranya merupakan 'lingga' perlambang laki-laki sedangkan landasannya merupakan 'yoni' yang melambangkan perempuan. Formasi ini juga memiliki makna alu dan lesung, perlengkapan penumbuk padi, yang gagasannya diutarakan langsung oleh Bung Karno.
Saya tak ingin menceritakan koleksi diorama di lantai dasarnya dengan kisah terbentuknya Indonesia sebagai sebuah bangsa. Saya juga tak hendak memggambarkan relief sejarah Indonesia yang terukir di sekeliling monumen yang menempati area seluas 80 hektare itu.
Saya hanya ingin mendeskripsikan perasaan saya ketika akhirnya mencapai puncak tugu Monas, tepat ketika senja hampir tiba dan saya menjadi pengunjung terakhir bersama dua orang turis Belanda dan seorang turis Jepang yang bertahan di puncak Monas hingga dijemput petugas karena waktu kunjungan telah berakhir.
Rasanya sangat menakjubkan melihat pemandangan 360 derajat kota Jakarta dari ketiinggian 115 meter. Sebanding dengan lamanya saya mengantre dari membeli tiketnya di tengah hari dan mendapat giliran naik lift ke puncak Monas pada jam lima sore itu.
Menunggu selama berjam-jam di pelataran Monas pun sebenarnya tidak terlalu membosankan, karena disediakan bacaan digital yang bisa diakses secara gratis oleh pengunjung.
Jakarta menampakkan wajah berbeda dilihat dari ketinggian Kemacetan yang biasanya menyebalkan terlihat menyenangkan. Kendaraan beraneka warna yang berbaris rapi memenuhi jalan mengindikasikan kota yang terus bergerak.
Hidup. Dinamis. Mungkin sesekali kita memang harus memberi jarak terhadap segala sesuatu, supaya tidak merasa sesak.
Saya beruntung mendapat giliran sesi terakhir naik ke puncak Monas sore itu, ketika matahari senja meninggalkan gradasi jingga yang menyolok mata.
Golden hour, meminjam istilah para fotografer. Pada saat itu, langit Jakarta sedang cantik-cantiknya. Dipandang dari bawah saja sudah indah, apalagi dilihat dari ketinggian pelataran puncak? Terbayang bukan, keindahannya?