ARTICLE AD BOX
Liputan6.com, Jakarta - Tes kepribadian seperti Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) dan Enneagram semakin populer di kalangan masyarakat. Banyak orang menggunakannya untuk memahami diri, bahkan perusahaan menjadikannya sebagai salah satu syarat dalam proses seleksi kerja.
Namun, di balik popularitasnya, para ahli justru menilai tes kepribadian ini tidak ilmiah dan tidak reliabel.
Dilansir dari Psychology Today, seorang akademisi sekaligus penulis buku The Personality Brokers: The Strange History of Myers-Briggs and the Birth of Personality Testing (2018), Dr. Merve Emre menyebut bahwa bisnis tes kepribadian telah berkembang pesat dengan nilai mencapai 2 miliar dolar, dengan MBTI sebagai yang paling populer.
Padahal, MBTI bukanlah ciptaan seorang psikolog atau ilmuwan. Tes ini dikembangkan oleh Katharine Briggs dan putrinya, Isabel Myers, yang tidak memiliki latar belakang di bidang psikologi.
Meski begitu, MBTI dan Enneagram tetap laris digunakan di berbagai bidang, termasuk dunia kerja dan pendidikan.
Dinilai Tidak Ilmiah dan Tidak Reliabel
Menurut para pakar, tes kepribadian seperti MBTI dan Enneagram memiliki kelemahan serius. Profesor psikologi di Wharton School, Dr. Adam Grant menjelaskan bahwa pertanyaan dalam MBTI sering kali menyesatkan dan menciptakan ilusi psikologis.
"Myers-Briggs (MBTI) itu seperti menanyakan 'kamu lebih suka tali sepatu atau anting?'. Pertanyaan itu menciptakan ilusi seolah kita sedang belajar psikologi, padahal tidak valid," kata Grant.
Dalam ilmu sosial, sebuah instrumen tes harus memenuhi empat standar utama, yaitu reliabel, valid, independen, dan komprehensif. Sayangnya, MBTI dan Enneagram tidak memenuhi syarat tersebut.
Reliabilitas menjadi masalah terbesar. Dalam penelitian psikologi, reliabel berarti hasil tes konsisten. Namun, hasil MBTI bisa berubah hanya dalam hitungan minggu atau bahkan hari.
Hal ini menunjukkan bahwa tes tersebut tidak stabil, sehingga dinilai tidak layak dijadikan acuan serius.
Risiko Membatasi Potensi Diri
Selain dinilai tidak akurat, dua tes kepribadian ini juga berisiko menjerat orang dengan tipe kepribadian yang membatasi diri. Menurut psikolog Carl Jung, tidak ada kepribadian yang bersifat tetap.
Kepribadian manusia lebih kompleks dari itu. "Tidak ada yang benar-benar ekstrovert atau benar-benar introvert. Jika ada, orang itu pasti berada di rumah sakit jiwa," katanya.
Sayangnya, banyak orang menjadikan hasil tes kepribadian sebagai identitas permanen. Mereka kerap mengatakan 'aku tipe ini' lalu meyakininya tanpa mempertanyakan situasi berbeda yang mungkin tidak sesuai dengan kategori kepribadian.
"Jika sesuatu dipresentasikan sebagai kebenaran, cara berpikir alternatif bahkan tidak terpikirkan," kata Psikolog Harvard, Dr. Ellen Langer.
Pola pikir seperti ini membuat seseorang berhenti untuk berkembang. Lebih jauh, ini bisa memengaruhi keputusan hidup.
Alih-alih mencoba hal baru, seseorang cenderung membuat pilihan yang justru menegaskan tipe kepribadian tersebut.
Alhasil, potensi diri bisa terhambat hanya karena terjebak pada lingkaran yang diciptakan oleh tes.