ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Juru Bicara PT Idovin Aquaculture International Adinda Cresheilla mengatakan budi daya lobster yang dilakukan perusahaannya berjalan sesuai perencanaan. Saat ini, perusahaan joint venture Indonesia- Vietnam tersebut telah menebar sekitar 38.000 Benih Bening Lobster (BBL) di keramba yang ditenggelamkan 3-7 meter di bawah permukaan laut.
"Keramba yang ditenggelamkan diperuntukan supaya BBL tidak terpengaruh perubahan salinitas air laut dan mendapatkan suhu serta pencahayaan yang sesuai dengan habitat aslinya," kata Adinda dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/9/2024).
Adinda memaparkan Vietnam menanamkan investasi senilai US$ 4 juta per tahun atau sekitar US$ 20 juta selama lima tahun di PT Idovin Aquaculture International. Investasi tersebut digunakan untuk membangun sarana dan prasarana budidaya, seperti 10 longline berisi 68 keramba dengan tiga ukuran berbeda, serta pembangunan warehouse.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari Vietnam, lanjut Adinda, perusahaannya juga mengadaptasi teknik pemberian pakan. Ia menjelaskan, lobster bersifat kanibal dan akan menyerang sesamanya apabila tidak diberi pakan yang cukup dan segar.
Oleh sebab itu, lobster perlu diberi makanan segar dengan jumlah dan waktu pemberian yang tepat. Makanan yang cocok bagi lobster adalah udang kecil, kerang yang dihancurkan dan ikan yang dicacah.
"Kami rutin memberikan pakan setiap jam 9 pagi dan jam 4 sore. Selain itu, juga dilakukan pembersihan sisa pakan secara rutin karena dapat menyumbat kerangkeng," ujar Dinda.
PT Idovin Aquaculture International merupakan satu dari lima perusahaan joint venture yang mendapat izin dari pemerintah untuk menjadi bagian dari global supply chain melalui skema Government to Government. PT Idovin Aquaculture International merupakan gabungan PT Bahari Emas Nusantara (Indonesia) dan The Global Trading Company Limited (Vietnam).
PT Idovin Aquaculture International dan empat perusahaan joint venture lainnya lahir berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 7 tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.).
Penyelundupan sebagai Musuh Bersama
Penyelundupan BBL merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh pembudidaya lobster. Keberadaan penyelundup membuat pembudidaya harus bersaing mendapatkan BBL. Dengan jaringan yang menggurita dan telah mengakar membuat para penyelundup memiliki daya untuk memainkan harga BBL.
"Pak Menteri KKP berpesan agar kami tak gentar menghadapi penyelundup BBL. Persoalan penyelundupan BBL menjadi concern KKP seiring terbitnya Permen KP Nomor 7 Tahun 2024, yang menjadi landasan tata kelola lobster di Indonesia saat ini," Plt Direktur Pengawasan Sumber Daya Perikanan KKP kata Suharta.
Tak mau setengah-setengah dalam memberantas penyelundupan, KKP membentuk Program Management Office (PMO 724) untuk memastikan implementasi Permen KP No.7/2024 berjalan maksimal, baik dari sisi penangkapan BBL, budidaya lobster, hingga sistem pengawasan komoditas perikanan tersebut.
"Kerugian akibat penyelundupan BBL dari Januari hingga September 2024 mencapai Rp 260 miliar. Bila penyelundupan tidak dihentikan, maka negara tidak akan mendapatkan setoran apapun," ujar Suharta.
Maka dari itu KKP bersama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) terus berkoordinasi untuk menjaga sumber daya alam di Tanah Air. Kasubdis Kumlater Diskum TNI AL Kolonel Laut (H) Ruruk Ronting menegaskan komitmen pihaknya memerangi praktik penyelundupan BBL. Menurutnya, sinergi memang diperlukan untuk memberantas praktik ilegal tersebut.
"Kami terus berkolaborasi dan bersinergi untuk sama-sama menjaga kedaulatan. Untuk target, kita harus bisa petakan dan menerapkan asas praduga tak bersalah. Namun yang paling penting adalah mengedukasi para nelayan supaya tidak menjual BBL pada oknum yang salah," paparnya.
Penegakan hukum juga menjadi kunci utama pemberantasan penyelundupan. Penyelundupan benih lobster dapat dijerat Pasal 102A Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun penjara dan denda Rp5.000.000.000 dan Pasal 88 jo Pasal 16 ayat 1 dan/atau Pasal 92 jo Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 44 tahun 2009 tentang Perikanan dan/atau Pasal 87 jo Pasal 34 UU RI Nomor 21 tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan ancaman hukuman penjara maksimal 6 tahun dan denda Rp3.000.000.000.
(akd/ega)