ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM) mengkritik KPK yang memutuskan menunda mengusut kasus korupsi terkait dengan peserta Pilkada 2024. Keputusan KPK itu dinilai tidak memiliki dasar hukum.
"Saya melihat kebijakan ini sama sekali tidak punya dasar dalam peraturan perundang-undangan, padahal aparat penegak hukum itu bekerja harus atas dasar peraturan perundang-undangan, apakah itu kalau KPK itu Undang-Undang KPK atau Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana," kata Peneliti dari PUKAT UGM Zaenur Rohman kepada wartawan, Selasa (3/9/2024).
"Sehingga ketika KPK menjalankan kewenangan tanpa berdasarkan UU menurut saya KPK tidak profesional, bahkan itu sangat berbahaya," tambahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zaenur menyebut keputusan KPK itu melanggar prinsip equality before the law atau asas kesamaan/setara di hadapan hukum. Sebab, kata dia, KPK membedakan penanganan kasus terhadap pihak berkompetisi dengan yang tidak ikut Pilkada 2024.
"Berarti ada perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara yang sedang diproses perkara korupsi, kalau sedang menjalankan kontestasi pilkada berarti pemeriksaannya dihentikan sementara, kalau yang tidak menjalani pilkada berarti perkaranya lanjut. Berarti ini ada perbedaan perlakuan," ucapnya.
Selain itu, Zaenur mengatakan penundaan penyelidikan kasus calon kepala daerah (cakada) selama Pilkada 2024 sangat berbahaya. Sebab, bisa digunakan pihak yang berperkara untuk menghilangkan barang bukti hingga memengaruhi saksi-saksi yang berujung akan menyulitkan penyelesaian perkara.
"Kalau alasannya untuk menghindari adanya politisasi, justru di situlah proses hukum itu harus benar-benar kuat berbasis alat bukti. Jangan sekali-kali memproses orang kalau belum ada alat buktinya yang kuat. Sehingga seharusnya alasan untuk menghindari politisasi itu tidak ada," ujar Zaenur.
Lebih lanjut, Zaenur menyebut jika KPK punya alat bukti yang menunjukkan tindak pidana yang dilakukan seorang cakada, seharusnya justru pemeriksaannya dipercepat. Hal itu dilakukan agar rakyat tidak mendapat pemimpin yang koruptif.
"Agar jangan sampai rakyat mendapatkan calon pemimpin yang tersangkut kasus korupsi di kemudian hari bisa bermasalah atau bahkan ini bisa menyandera calon kepala daerah, apalagi nanti jika sudah menduduki jabatannya," imbuhnya.