ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Perkumpulan Pensiunan Jiwasraya (PPJ) Pusat meminta kepada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) membayarkan kewajibannya sebesar Rp 371 miliar kepada Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) Jiwasraya.
Permintaan ini diadukan langsung oleh Ketua PPJ Pusat, De Yong Adrian dalam audiensi Bersama Komisi VI DPR RI. Adapun jumlah tersebut merupakan kewajiban dana pensiun untuk sekitar 2.300 pensiunan.
"Kami sangat mengharapkan pimpinan rapat dan Komisi VI, kami memohon bantuan agar permasalahan ini mendapat perhatian khusus karena menyangkut kelanjutan hidup 7.000 orang," kata De Yong, di Senayan, Jakarta, Senin (26/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permintaan ini menyusul rencana pembubaran dan likuidasi Jiwasraya pada akhir tahun 2024 ini. De Yong mengatakan, pihaknya belum mendapatkan gambaran pasti atas kelanjutan membayarkan uang pensiun bulanannya jika sampai DPPK Jiwasraya juga ikut dibubarkan.
Menurutnya, saat ini Jiwasraya dalam keadaan defisit pendanaan atau insolven. Defisit pendanaan DPPK Jiwasraya berdasarkan Laporan Aktuaris untuk Valuasi Aktuaria per 31 Desember 2023 mencapai Rp 371 miliar.
Defisit ini terjadi ketika kewajiban aktuaria (manfaat pensiun sekarang dan yang akan datang) melebihi kekayaan dana pensiun. Ketika dana pensiun mengalami defisit pendanaan, sesuai ketentuan perundang-undangan pemberi kerja wajib memberikan iuran tambahan untuk memenuhi pendanaan.
Apabíla sampai dengan akhir tahun 2024 Jiwasraya selaku pendiri DPPK Jiwasraya atau pemberi kerja tidak memberikan iuran tambahan untuk memenuhi defisit pendanaan, sudah dapat dipastikan defisit pendanaan 2024 bisa terjadi perubahan yang signifikan dibandingkan tahun 2023.
Apabila defisit pendanaan DPPK Jiwasraya tidak dibayar Jiwasraya sampai akhir tahun 2024, maka kemampuan likuiditas DPPK Jiwasraya untuk membayar uang pensiun bulanan kepada para pensiunan diperkirakan hanya sampai dengan bulan Mei 2025. Dengan demikian pada bulan Juni 2025 para pensiunan tidak lagi mendapatkan uang pensiun. Karena itulah, ia meminta agar kewajiban itu dilunasi sekaligus.
"Jika DPPK Jiwasraya dilikuidasi dan manfaat pensiun dibayarkan sekaligus, maka manfaat yang diterima pensiunan sebesar nilai tunai rasio solvabilitas 100%. Jadi seandainya tak dibayarkan berupa kelanjutan manfaat bulanan seumur hidup karena perusahaan dilikuidasi. Maka pembayaran sekaligus kami minta 100% dari kewajiban solvabilitas yaitu sebesar Rp 371,7 miliar yang belum dibayarkan pemberi kerja," paparnya.
Lebih lanjut, De Yong pun bercerita, pada halal bi halal tahun 2022 pihaknya pernah dijanjikan oleh perusahaan untuk dibayarkan sebesar Rp 132 miliar dengan skema cicilan. Namun hingga saat ini, rencana tersebut tak ada kelanjutannya. Oleh karena itu, kalau diakumulasikan hingga saat ini, total yang belum dibayarkan mencapai Rp 371 miliar.
"Jadi intinya kami sebenarnya hanya menuntut haknya kita agar manfaat bulanan yang diterima oleh para pensiun itu kan bisa dibayarkan," ujar De Yong, ditemui usai audiensi.
"Yang kedua, kalau seandainya pemberi kerjanya misalnya akan dilikuidasi, yang akan tentunya dana pensiunnya juga terlikuidasi, sebelum dilikuidasi penuhilah dulu kewajibannya. Sehingga para pensiunan itu dia bisa terjamin manfaatnya, atau kalau dia dibayarkan sekaligus sesuai dengan haknya mereka," sambungnya.
De Yong menambahkan, para pensiunan pekerja ini memiliki penghasilan yang tidak besar. Kalau diperhitungkan, rata-ratanya mencapai Rp 1,3 juta per bulan per orang. Bahkan, ada yang pensiunannya hanya sebesar Rp 350 ribu.
"Memang yang paling banyak itu di bawah 500 ribu sih, karena kan gaji pensiun zaman dulu kan nggak besar," katanya.
(shc/das)