ARTICLE AD BOX
Lombok Utara -
Siapa yang menyangka bila Gili Trawangan, pulau kecil di bagian barat laut Pulau Lombok yang terkenal dengan keindahan lautnya itu, pernah digunakan sebagai penjara bagi pemberontak?
Mungkin karena dikelilingi lautan luas, tempat ini paling pas dijadikan tempat pengasingan. Setidaknya ada sekitar 350 orang pemberontak dari Suku Sasak, penduduk asli Pulau Lombok, yang dibuang ke Gili Trawangan. Mereka inilah yang kemudian menjadi penghuni pertama pulau ini.
Pada masa penjajahan Belanda, sekitar tahun 1870, beberapa pelaut dari Suku Bugis tiba di Gili Trawangan dan tinggal bersama suku sasak hingga saat ini. Rupanya orang Bugis memang lebih senang berkelana ke banyak tempat di Nusantara daripada dijajah Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tahun 2018, pada saat terjadi gempa Lombok, Gili Trawangan pun tak lepas terkena imbas. Sebagian besar bangunan luluh lantak diterjang gempa. Untuk sesaat, Gili Trawangan sempat menjadi pulau mati, ditinggalkan penghuninya yang melakukan evakuasi.
Saya mengunjungi Gili Trawangan belum lama ini, dan tempat ini mulai didominasi turis asing lagi. Perempuan-perempuan berbikini dengan kulit kecoklatan terbakar matahari, terlihat memenuhi pantai untuk bersantai, ditemani para pria yang bertelanjang dada, asyik menikmati keindahan alam.
Gili Trawangan memiliki aturan bebas polusi. Alat transportasi yang diizinkan untuk beroperasi di pulau ini adalah sepeda dan cidomo. Cidomo adalah alat transportasi khas pulau Lombok, kepanjangan dari cikar dokar motor, berupa pedati dengan ban karet yang umumnya berasal dari ban motor bekas, dan ditarik oleh seekor kuda.
Meskipun memiliki aturan bebas polusi, sebenarnya masalah transportasi di pulau ini tak perlu terlalu dikhawatirkan karena luas Gili Trawangan hanya sekitar 340 hektare saja. Atau hanya sekitar 4,25 kali lipat dari luasnya area taman Monas di Jakarta.
Hanya dibutuhkan waktu sekitar satu setengah jam saja mengelilingi Gili Trawangan dengan berjalan kaki. Bila menggunakan sepeda, maka waktu tempuhnya hanya berkisar setengah jam saja untuk mengelilingi garis pantai sepanjang 7,5 km itu.
Awalnya Gili Trawangan adalah desa nelayan, sebelum berubah menjadi tempat pariwisata seperti sekarang. Kapal-kapal kayu disulap menjadi glass bottom boat yang dapat disewa wisatawan untuk melihat keindahan alam bawah laut yang khas, dipenuhi terumbu karang dan ikan warna-warni.
Selain melihat biota laut, para turis yang memilih aktivitas menyelam juga bisa mengagumi Nest, karya seni buatan Jason Decaires Taylor yang berwujud sarang manusia sebanyak 48 patung. Patung-patung ini sengaja ditenggelamkan di perairan gili, tepatnya di sekitar Gili Meno yang berjarak sekitar 9 km dari Gili Trawangan.
Tujuannya sangat positif, yaitu sebagai upaya merehabilitasi terumbu karang atau media tempat tumbuhnya biota laut. Secara etimologi, Gili berarti pulau kecil. sedangkan Trawangan diambil dari kata 'terangan' yang artinya bertelurnya penyu.
Pada masa lalu, di pulau ini memang terdapat banyak penyu. Selama berada di Gili Trawangan, saya menyempatkan diri menyeberang ke perairan Gili Meno. Di perairan yang lebih dangkal itu terdapat banyak lokasi yang disarankan untuk melakukan snorkeling, dengan keindahan akuarium raksasa di bawahnya.
Konon di sana juga terdapat karang biru yang langka. Setelah menyaksikan teman-teman seperjalanan asyik melakukan snorkeling di perairan Gili Meno, saya kembali ke Gili Trawangan sekitar pukul empat sore.
Pada saat itu ombak mulai tinggi, membuat kapal kayu yang saya tumpangi menari-nari seru sekali. Seusai senja, ketika laut tak lagi terlihat hijau toska, keriuhan Gili Trawangan mulai beralih ke kafe-kafe di sepanjang garis pantai. Kegelapan yang menyelimuti lautan berubah menjadi semaraknya pesta dengan hingar bingar live musiknya. Sebuah perubahan yang dinamis, bukan?