ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Target investasi Indonesia di era pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka mencapai Rp 2.000 triliun, informasi ini dibuka oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Wakil Menteri Investasi/BKPM Yuliot Tanjung mengatakan jumlah besar itu disasar karena Prabowo-Gibran menargetkan pertumbuhan ekonomi Tanah Air menembus angka 7% sampai 8% pada 2025-2029. Angka Rp 2.000 triliun pun diperoleh berdasarkan perhitungan dan asesmen dari BKPM.
"Kalau pertumbuhan perekonomian 7%-8% pada tahun pemerintahan yang akan datang berarti untuk menunjang pertumbuhan tersebut ya tidak lain bagaimana caranya kita menggenjot investasi. Jadi, menurut perhitungan kami, kita sudah melakukan asesmen pada tahun 2025 yang akan datang target realisasi investasi sebesar Rp 1.900 sampai Rp 2.000 triliun," kata Yuliot dalam agenda Central Banking Services Festival 2024 yang disiarkan secara daring di YouTube Bank Indonesia, Rabu (28/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yuliot kemudian mengungkap, bahwa target investasi sebesar Rp Rp 1.900 - Rp 2.000 triliun itu lebih tinggi 16% dari target realisasi investasi pada 2024 yang jumlahnya mencapai Rp 1.650 triliun. Menurutnya, angka ini adalah tantangan besar, sebab tidak ada sektor perekonomian yang mencatatkan rata-rata pertumbuhan sampai angka dua digit.
"Tidak ada sektor perekonomian yang rata-rata pertumbuhan dua digit. Jadi ini merupakan beban kita bersama," jelas dia.
Bagaimana Cara Mencapainya?
Yuliot kemudian mengungkap sejumlah cara pihaknya buat mencapai hal tersebut. Pihaknya bakal mendorong pengintegrasian kebijakan investasi. Pasalnya, kebijakan yang selama ini berkaitan dengan investasi selalu terpisah-pisah.
"Kami melihat selama ini kebijakan yang terkait investasi sifatnya silo, terpisah-pisah, ke depan kita harus lakukan integrasi," beber Yuliot.
Karena itu, Yuliot menjelaskan Kementerian Investasi/BKPM mau memperkokoh empat pilar. Pilar pertama adalah kebijakan investasi (investment policy), hal ini mencakup kemudahan pemberian izin usaha, pemberian insentif bagi investor, pengurangan pajak, sampai pembebasan bea masuk.
Di sisi lain karena kebijakan Global Minimum Tax (GMT), pihaknya juga bakal menyesuaikan pungutan pajak bagi perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia.
"Dengan adanya GMT berarti nanti kalau kita tidak memungut pajak perusahaan yang melakukan kegiatan investasi terutama multi-national company, berarti ini akan dipungut di negara asal investor yang bersangkutan. Berarti kita harus menyesuaikan berbagai kebijakan yang terkait investment policy," jelasnya.
Pilar kedua adalah kebijakan industri (industry policy), Yuliot mengatakan kebijakan industri harus disolidkan untuk menambah nilai tambah termasuk daya saing industri dalam negeri. Selain itu, kebijakan industri juga harus dikonsolidasikan sebab pelaksanaannya kerap dilakukan lintas sektor dan kewenangan seperti Kementerian ESDM dan Kementerian Pertanian di hulu industri, serta Kementerian Perindustrian di hilir industri.
Pilar ketiga adalah dukungan buat kebijakan finansial (financial policy), sebab investor manapun yang hendak menanamkan modal pasti memerlukan dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan dan perbankan. Karena itu integrasi hal tersebut dengan kebijakan juga harus dilakukan.
Sementara pilar keempat adalah memperlancar kegiatan investasi lewat sistem Online Single Submission (OSS). Yuliot mengatakan bahwa investasi tidak hanya bisa diukur lewat jumlah investor yang menanamkan modal dalam jumlah besar. Untuk menggerek angka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), Kementerian Investasi/BKPM juga harus memfasilitasi investasi yang dilakukan oleh UMKM.
Mulai 4 Agustus 2021 sampai saat ini, Yuliot mengatakan bahwa terdapat sekitar 10 juta pelaku UMKM yang memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang tercatat di sistem OSS. Namun, dia mengakui karena OSS ditunjang oleh 68 sistem dari kementerian dan lembaga (K/L) berbeda, masih ada persoalan pengaliran data yang perlu diselesaikan.
"Karena sistem OSS ini ditunjang oleh 68 sistem di K/L, kalau platform itu sistemnya tidak sama dan saat integrasi ada permasalahan-permasalahan pengaliran data yang tidak begitu lancar, tentu ini akan menghambat pelayanan perizinan, jadi kami juga melakukan perbaikan-perbaikan di dukungan sistem," jelas dia.
(kil/kil)