ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Mahasiswa berbondong-bondong berunjuk rasa memprotes DPR yang menggulirkan revisi UU Pilkada. Soalnya, DPR hendak merevisi UU itu saat Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengetok putusan soal Pilkada. Agenda revisi di DPR dinilai menyimpang dari putusan MK. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengecam DPR.
"Semangat Baleg DPR ini melanggengkan kartel politik yang sudah barang tentu bertentangan dengan UUD '45, suara rakyat diamputasi," kata Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino, dalam siaran persnya, Kamis (22/8/2024).
Menurut GMNI, revisi UU Pilkada yang dijalankan Badan Legislasi (Baleg) DPR itu melawan konstitusi. Soalnya sebelum Baleg membahas, MK sudah mengetok palu. GMNI mendukung putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang membuka peluang bagi partai politik untuk mengajukan calon di Pilkada tanpa ambang batas yang berpatokan pada jumlah perolehan suara kursi DPRD melainkan berdasarkan persentase suara (baik dari parpol DPRD maupun non-DPRD) sesuai Daftar Pemilih Tetap (DPT) masing-masing daerah. Namun putusan MK itu seoalah mau dimentahkan oleh Baleg DPR, dan nyaris saja disahkan di paripurna.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, semangat MK ingin membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah dalam pemilu untuk mengajukan bakal calon kepala daerah agar masyarakat dapat memperoleh ketersediaan beragam bakal calon sehingga dapat meminimalkan munculnya hanya calon tunggal, yang jika dibiarkan berlakunya norma Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 secara terus-menerus dapat mengancam proses demokrasi yang sehat," tutur Arjuna.
Arjuna juga berpendapat putusan MK Nomor 60 ini harus menjadi momentum untuk meradikalisasi proses demokrasi di Indonesia, terutama momentum untuk menghapus formula electoral threshold dalam sistem demokrasi Indonesia. Karena menurut Arjuna, formula electoral threshold inilah yang menjadi biang kerok munculnya kartelisasi politik. Dengan adanya electoral threshold maka banyak suara rakyat yang terbuang, dan terjadi penghilangan hak warga negara untuk memilih. Karena kandidat disodorkan oleh kartel partai politik.
"Satu-satunya jalan untuk mencegah kawin silang oligarki dan kartel politik adalah menghapus electoral threshold. Tidak ada jalan lain," tandas Arjuna.
(dnu/imk)