ARTICLE AD BOX
Jakarta - Pembangunan supergrid atau jaringan transmisi menjadi solusi untuk mengatasi ketidakseimbangan antara pasokan energi baru terbarukan (EBT) dan kebutuhan. Berdasarkan roadmap yang ada, pengembangan supergrid di Indonesia terdiri dari interkoneksi intra-island/dalam pulau dan inter-island/antar pulau.
"Pengembangan supergrid dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut dikarenakan manfaat yang dihasilkan berupa evakuasi sumber-sumber energi terbarukan kepada demand center, peningkatan keandalan sistem, peningkatan bauran energi terbarukan ke dalam sistem, serta efisiensi Biaya Pokok Pembangkitan (BPP)," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman P Hutajulu dikutip dari laman Kementerian ESDM, Rabu (4/9/2024).
Supergrid, tambah Jisman, juga dapat mendukung peningkatan bauran EBT dari 20% di tahun 2024 menjadi 82% di tahun 2060.
Roadmap pengembangan super grid di Indonesia terdiri dari interkoneksi intra-island/dalam pulau dan inter-island/antar pulau. Interkoneksi intra-island akan dilakukan dengan pengembangan backbone 500 kV Sumatera dan Kalimantan, 275 kV dan 150 kV interkoneksi Sulawesi. Sedangkan Interkoneksi inter-island akan dibangun antara Sumatera-Batam, Sumatera-Jawa, Kalimantan-Jawa, Kalimantan Sulawesi, serta Jawa-Sumba.
Interkoneksi Sumatera akan menjadikan transmisi 275 kV dan 500 kV sebagai backbone. Tujuannya untuk memperkuat keandalan sistem, menyalurkan potensi energi terbarukan, serta mengurangi ketergantungan pada sumber bahan bakar gas/LNG. Terdapat 5 ruas di mana 2 ruas sudah terbangun, 2 ruas dalam tahap konstruksi, dan 1 ruas dalam tahap perencanaan. Total investasi yang diperlukan sebesar US$ 2,35 miliar.
"Interkoneksi dari Sumatera ke Jawa dengan tujuan untuk mengevakuasi potensi energi bersih berupa panas bumi dan hydro dari Sumatera ke Jawa. Fleksibilitas kedua sistem akan meningkat secara independen sehingga dapat meminimalisir resiko blackout secara bersamaan," jelas Jisman.
Jisman mengungkapkan, interkoneksi ini akan mengembangkan jalur transmisi overhead atau subsea cable sepanjang 1680 kms dengan kebutuhan investasi sebesar US$ 4,28 miliar.
Sementara sistem Kalimantan saat ini, masih terpisah antara subsistem Khatulistiwa dan Ketapang di barat dan sistem Barito Mahakam di timur. Interkoneksi sistem Kalimantan diperlukan untuk menghubungkan ketiga sistem tersebut dan mengevakuasi potensi energi bersih ke pusat beban termasuk Ibu Kota Nusantara (IKN).
"Pengembangan interkoneksi Kalimantan akan membutuhkan investasi sebesar US$ 1,8 miliar," jelas Jisman.
Adapula sistem Sulawesi masih terpisah antara subsistem Sulawesi Bagian Utara dan Sulawesi Bagian Selatan sehingga diperlukan interkoneksi untuk memasok listrik EBT untuk kebutuhan listrik smelter.
"Pengembangan Interkoneksi Sulawesi akan mengevakuasi potensi energi bersih untuk melistriki industri smelter di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dengan kebutuhan investasi US$ 1,8 miliar. Dibutuhkan kajian lebih lanjut menentukan efektivitas penyediaan tenaga listrik untuk smelter melalui pembangunan interkoneksi dengan pembangkit di dekat sumur gas atau distribusi LNG Carrier dengan pembangkit di dekat cluster industri smelter," jelas Jisman.
Jisman mengungkapkan, saat ini pemerintah sedang mengembangkan Java Bali Connection dengan tujuan meningkatkan keandalan sistem, meningkatkan pasokan pembangkit dari Jawa, dan mengurangi konsumsi BBM impor. "Transmisi saat ini terdiri dari 150 kV kabel bawah laut dan akan ditingkatkan menjadi transmisi 500 kV. Proyek ini saat ini berada dalam fase pengadaan," ungkap Jisman. (acd/rrd)