ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Sejumlah calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di Komisi XI DPR RI. Fit and proper test untuk mengisi posisi lima anggota BPK periode 2024-2029 diikuti 74 nama, dilaksanakan pada Senin-Rabu 2-4 September.
Indra Krisna, calon anggota yang pernah berkarier di Bank Indonesia (BI) hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memaparkan integritas di BPK, misanya oknum anggota BPK yang meminta imbalan pada sejumlah kasus.
"Fakta persidangan, ada auditor BPK meminta uang sebesar Rp 12 miliar, demi memoles laporan keuangan menjadi WTP (wajar tanpa pengecualian). Ini menjadi tren laporan keuangan itu hampir semua WTP, padahal kita tahu kondisi real di lapangan seperti apa tapi kok hasil nya WTP," katanya di Komisi XI DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/9/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menyinggung kasus yang menimpa pimpinan BPK pada kasus korupsi menara BTS, hingga suap kasus pemberian WTP untuk instansi tertentu. Dalam hal ini, Indra menekankan bahwa integritas menjadi kunci yang tak bisa ditawar dan penting bagi BPK.
"Dengan kondisi kasus-kasus yang memprihatinkan itu, ini berdampak pertama penurunan kualitas dan rekomendasi pemeriksaan. Menghilangkan kepercayaan publik kepada BPK. Inefisiensi dan pemborosan anggaran dan korupsi tidak bisa ditekan," paparnya.
Indra memaparkan enam solusi atas persoalan itu, seperti penguatan teknologi dalam proses pemeriksaan, pengembangan sumber daya manusia terintegrasi, hingga penerapan sanksi dan reward.
Seleksi juga diikuti Charles Pandji Dewanto, Sekretaris Jenderal Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ia menyebut, KPPU dan BPK punya kemiripan tugas, sehingga menjadi salah satu alasannya mendaftarkan diri.
"Motivasi saya tentunya kita ingin lembaga di mana pun berada jadi lebih baik. Saya lihat ada kemiripan lembaga BPK dengan di KPPU, di KPPU kita ada investigator, di BPK punya auditor yang tugas dan fungsinya mirip, pemeriksaan, investigasi, dan memberikan saran pertimbangan lain-lain," sebutnya.
Fit and proper test juga diikuti oleh Nehseh Bangun yang menyoroti masalah kredibilitas di kalangan auditor. Ia membeberkan berbagai persoalan yang menjadi celah terjadinya penyimpangan.
"Auditor dengan usia produktif memiliki kebutuhan hidup yang tinggi dan tidak berimbang dengan pendapatan menjadi celah terjadinya penyimpangan," imbuh dia.
Peserta lainnya adalah Dadang Suwanda, dosen yang juga pernah bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hingga staf ahli DPD. Ia menyoroti praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia.
Berdasarkan materinya, masalah KKN yang masuk ranah hukum biasanya melibatkan 2 kelompok. Kelompok pertama yaitu orang yang pintar namun nakal dan mampu menyiasati aturan. Sementara kelompok kedua adalah orang yang tidak pintar sehingga mudah dikelabui.
(ily/ara)