ARTICLE AD BOX

EDITORIAL Media Indonesia pada Rabu (27/8) lalu menyampaikan kekhawatiran terkait dengan harga beras yang terus naik di tengah produksi dan stok yang dikatakan melimpah. Beras premium, medium, hingga beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) sulit ditemukan di pasar.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman pada awal Juli lalu sudah mengendus kecurangan produksi beras komersial dan pengoplosan beras SPHP dengan dugaan kerugian negara lebih dari Rp100 triliun per tahun (Media Indonesia, 27/8). Pengoplosan atau penyimpangan pangan kian terasa dampaknya terhadap tata niaga pangan. Aksi culas ini memukul iklim usaha dan merugikan konsumen. Polisi sedang mendalami 20 kasus penyimpangan beras dengan menetapkan 26 tersangka.
Di tengah kerja keras pemerintah dalam memperbaiki tata kelola bahan pokok, penegakan hukum yang dilakukan kepolisian menjadi harapan baru. Hal ini menandakan penegakan hukum pada aspek penyimpangan pangan mulai mendapat perhatian serius.
Maraknya kasus penyimpangan pangan menyadarkan kita bahwa urusan pangan tidak melulu soal produksi atau produktivitas. Perbaikan tata niaga dan penegakan hukum juga tak kalah penting. Penyimpangan pangan bisa saja merupakan praktik lama yang baru terungkap.
ANCAMAN FOOD FRAUD
Praktik penyimpangan pangan (food fraud) bukan perkara sepele. Ia adalah ancaman laten yang bersembunyi dalam tata niaga setiap bahan pokok. Imbasnya tidak hanya terhadap distribusi dan ekonomi secara umum, tapi kesehatan konsumen juga menjadi taruhan.
Maraknya kecurangan pangan secara global membuat Vagsholm dkk (2020) menempatkan penanganan penyimpangan pangan (food frauds control) sebagai pilar keempat yang harus dicapai dalam memenuhi target keamanan pangan (food security) global. Tiga pilar lainnya ialah food safety, public health, dan sustainability.
Tingginya perhatian dunia memperlihatkan bahwa aksi penyimpangan pangan tidak mengenal negara dan level distribusi. Negara maju maupun negara berkembang, pedagang kecil maupun pemain besar, juga rentan jadi pelaku penyimpangan pangan.
Studi Abid dkk (2025) menunjukkan, masalah penyimpangan pangan di negara berkembang cenderung lebih kronis karena kurangnya pengawasan, keterbatasan sumber daya, dan rendahnya penegakan hukum. Hal ini membuat praktik penyimpangan pangan terus terjadi dari waktu ke waktu.
Saat ini, terdapat pola dan motif yang hampir serupa dalam setiap kasus manipulasi pangan. Pelaku selalu mengejar margin keuntungan dari penambahan kuantitas (berat atau volume) atau penurunan kualitas (grade atau mutu) di sebuah komoditas pangan. Cara-cara manipulatif seperti menyuntik ayam dengan air, mencampur susu dengan bahan nonsusu, hingga mengoplos beras premium dengan kualitas rendah yang marak akhir-akhir ini, merupakan bentuk penurunan kualitas produk sekaligus pengurangan kadar bahan baku utama.
Banyak hal yang dikorbankan demi margin keuntungan tersebut, misalnya risiko kontaminasi dan tata niaga yang terganggu. Artinya, pangan sehat bisa saja tersedia melimpah, tapi publik sulit mengakses. Akses terhadap pangan ini sama pentingnya dengan ketersediaan pangan. Amartya Sen dalam Poverty and Famines (1981) menyebut kelaparan terjadi bukan karena kelangkaan pangan, melainkan akibat hilangnya kemampuan dan akses untuk mendapatkan pangan.
DAMPAK SISTEMIK
Penyimpangan pangan juga salah satu bentuk abai terhadap konteks keberlanjutan, lingkungan, dan kesehatan yang sering terabaikan. Pada aspek kesehatan, dampaknya bukan hanya pada manusia, tapi juga pada kesejahteraan hewan ternak. Hal tersebut menunjukkan penyimpangan pangan di negara berkembang juga tak lepas dari persoalan sistemik. Celah regulasi, lemahnya pengawasan, hingga praktik rente dalam distribusi membuat kecurangan bukan sekadar ulah individu, melainkan bagian dari pola yang berulang.
Sistem yang membiarkan celah tersebut ibarat memberi ruang bagi perilaku curang untuk terus hidup sehingga publik menjadi korban sekaligus kehilangan kepercayaan pada pangan yang mereka konsumsi dan sistem pangan yang berjalan. Jika dibiarkan, dampak dari praktik penyimpangan pangan akan bersifat akumulatif. Ia tidak hanya merusak satu rantai pasok atau satu komoditas, tetapi perlahan menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem pangan nasional secara keseluruhan.
Kecurangan yang terus terjadi akan menimbulkan apatisme konsumen hingga ketimpangan pelaku usaha. Pelaku usaha berintegritas kalah bersaing secara harga dengan pelaku curang. Ini menciptakan race to the bottom yang berbahaya bagi ketahanan pangan jangka panjang.
Lebih jauh, jika praktik ini terus meluas, bukan tidak mungkin kita mengalami krisis kepercayaan yang lebih dalam, di mana masyarakat tidak lagi yakin bahwa pangan yang mereka konsumsi aman dan layak. Ini adalah kerugian yang tak bisa ditebus dengan stabilisasi harga.
PERBAIKAN TATA KELOLA
Membasmi penyimpangan pangan bukan sekadar persoalan menindak pelaku. Ia membutuhkan transformasi tata kelola pangan secara menyeluruh. Regulasi yang lebih tegas, sistem pengawasan yang canggih, serta keterlibatan lintas sektor menjadi keharusan.
Louise Manning (2016) mengingatkan, food fraud membutuhkan solusi integritas pangan dalam menangani tuntutan transparansi, keterlacakan, dan tata kelola yang etis dalam seluruh sistem pangan. Dalam konteks Indonesia, kita membutuhkan penegakan hukum yang dibarengi dengan koordinasi antarkementerian dan dukungan masyarakat.
Pelibatan teknologi juga menjadi kunci. Penerapan sistem pelacakan digital (digital traceability), audit mutu berbasis bukti, serta early warning system berbasis data dapat meningkatkan daya cegah dan daya tangkal terhadap penyimpangan pangan.
Di sisi lain, kesadaran moral dan etika dalam berbisnis juga penting. Dunia usaha harus melihat integritas bukan sebagai beban, melainkan sebagai keunggulan kompetitif. Pemerintah dapat berperan mendorong hal ini dengan memberikan reward and punishment berbasis bukti. Tidak kalah penting, konsumen harus diberdayakan agar juga mampu berkontribusi menjadi solusi. Edukasi konsumen tentang pangan yang aman, sehat, dan berkelanjutan menjadi benteng terakhir yang bisa membatasi ruang gerak pelaku curang.
Kita perlu membangun budaya konsumsi yang sadar dan kritis. Label pangan, sertifikasi, serta saluran komunikasi publik melalui media sosial bisa menjadi alat kontrol publik yang kuat jika dibarengi dengan literasi yang baik.
Sejatinya, pangan bukan semata komoditas ekonomi. Ia adalah fondasi keberadaban, kedaulatan, dan keadilan sosial. Maka, setiap praktik penyimpangan terhadap pangan sejatinya adalah pengkhianatan terhadap hak dasar rakyat.