ARTICLE AD BOX

SEBAGAI konsekuensi dari Demo pada akhir Agustus 2025, Presiden Prabowo sudah menyatakan bahwa akan mencabut tunjangan DPR dan moratorium kunjungan kerja luar negeri.
Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Subarsono menilai, langkah tersebut tepat untuk merespons gejolak massa dan menghentikan demonstrasi dalam rangka menjaga stabilitas nasional. Namun, keputusan tersebut harus segera dikeluarkan.
Lalu bagaimana dengan gaji dan tunjangan para pejabat Menteri dan Wakil Menteri (Wamen)?
"Saya berpendapat bahwa momentum ini bisa digunakan oleh juga oleh Presiden sebagai entry point mengevaluasi tunjangan para Menteri dan Wamen," kata dia kepada Media Indonesia, Jumat (5/11). Langkah itu sekaligus dapat meningkatkan legitimasi dan kepercayaan publik pada presiden.
Sayangnya, fenomena gaji dan tunjangan menteri plus wamen kan bukan menjadi sorotan publik dan issue utama dalam demo. Dengan demikian, ia menduga, pemerintah tidak akan melakukannya daripada mengambil resiko berkurangnya loyalitas para anggota partai koalisi merah putih yang memiliki menteri dan wamen.
Issue kenaikan tunjangan DPR, lanjut dia, lebih krusial daripada issue tunjangan menteri dan wamen karena jumlah anggota DPR jauh lebih banyak daripada jumlah anggota menteri dan wamen sehingga berakibat lebih membebani Anggaran Negara.
"Kalau mau betul-betul mau menghemat anggaran negara (APBN) dalam kaitannya dengan para menteri dan wamen, sebaiknya kritik dan reformasi lebih diarahkan pada proliferasi (pengembangan) jumlah menteri dan wamen yang selama ini dirasa gemuk dibanding dengan di era sebelumnya," kata dia.
Saat ini, kita memiliki 48 menteri dan 55 wakil menteri. Bahkan, dengan diketoknya revisi UU Haji dan Umrah menjadi undang-undang, lahir Kementerian Haji dan Umrah dan ini menambah jumlah kementerian menjadi 49 pada era pemerintahan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming.
"Issue perampingan kemeterian ini lebih krusial daripada menggugat tunjangan menteri karena jumlah menteri tidak sebanyak jumlah DPR," kata dia.
Dari peristiwa demo yang telah berujung pada kerusuhan dan penjarahan rumah beberapa anggota DPR dan menteri dapat dijadikan pelajaran bagi pemerintah selaku pengambil kebijakan dan DPR agar lebih responsif pada kondisi riel masyarakat agar tidak membuat keputusan yang mencederai dan melukai batin rakyat.
"Dalam konteks ini, setiap pembuatan kebijakan perlu dikaji secara serius, kalau perlu didasarkan pada kajian akademik, dan tidak perlu dibuat secara tergesa-gesa," kata dia.
Sebelum mengambil kebijakan, issue yang akan dibahas sebaiknya dilempar dulu di tengah masyarakat untuk mendapat umpan balik sebelum keputusan diambil. Itu merupakan salah satu cara untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik dan responsif di samping tersediamya naskah akademik. (H-2)