ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Raja Jawa yang dianalogikan oleh Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia memang begitu menarik untuk dikulik. Menurut sejarawan, gelar itu tak bisa dipisahkan dengan pemimpin Indonesia saat ini.
Karena, semua itu berawal dari para raja yang bisa menaklukkan daratan Malaysia dan sekitarnya. Saat ini, presiden-presiden Indonesia dimulai dari Soekarno hingga Joko Widodo pun disegani aneka negara.
"Nah tentu ini juga tidak terlepas dari kebesaran kerajaan-kerajaan di masa lalu, dari kerajaan Hindu-Buddha sampai kerajaan Islam, bahwa raja-raja Jawa ini bisa menguasai Nusantara bahkan sampai ke Brunei, Malaysia, Singapura ya, terutama zaman Majapahit," kata Asep kepada detikcom, Kamis (22/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kebesaran itu kan dalam sejarah demikian. Nah dalam konteks saat ini presiden-presiden kita juga tidak kalah keren ya pamornya di dunia," ungkap dia.
"Mulai dari Presiden Soekarno sampai Pak Jokowi itu mempunyai power yang cukup besar dalam konstelasi dunia, gitu. Oleh sebab itu istilah raja Jawa juga Nusantara memang tidak bisa dipisahkan," kata dia lagi.
Namun demikian, Asep mengatakan bahwa raja Jawa yang diungkapkan Bahlil hanyalah candaan semata. Karena, presiden yang ada hingga saat ini adalah jabatan yang didapat dan disematkan melalui proses demokrasi.
"Tapi sekali lagi itu hanya candaan, guyonan dan itu tidak benar-benar ada. Presiden adalah wujud dari demokrasi, tentunya," jelas Asep.
"Oleh sebab itu, demokrasi yang hari ini kita sedang menghadapi satu kenyataan bahwa demokrasi kita sedang dirusak, kalau saya melihatnya," kata dia.
Cara Menetralisir Raja Jawa
Karena keadaan di atas, Asep menginginkan istilah raja Jawa untuk dinetralisir. Karena, masyarakat sudah kecewa dengan keadaan terkini dan demokrasi sebagai landasan negara harus tetap digunakan oleh gerbong saat berjalan.
"Dan masyarakat hari ini kecewa dengan apa yang terjadi hari ini. Oleh sebab itu, raja Jawa yang dimaksud ini harus kita lawan dalam arti begini, bahwa istilah itu justru harus kita netralisir," ujar dia.
"Bahwa tidak ada istilah raja Jawa itu, yang ada adalah presiden Indonesia. Karena, apa yang terjadi hari ini, kemarin seharian di sosmed ada gambar biru yang bertuliskan "Peringatan Darurat dan lain-lain" itu adalah wujud bahwa masyarakat ini peduli dan ingin mengembalikan demokrasi kepada relnya. Tidak keluar jalur," terang Asep.
"Saya kira kita semua hari ini ikut berkabung dan bersedih mengecam mengutuk pada tindakan elit yang tidak pro pada demokrasi," tegas dia.
(msl/wsw)