ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Acara tahunan Sekaten di Solo kali ini diwarnai kericuhan. Kericuhan di tradisi sakral itu bermula dari perdebatan soal siapa yang berhak menabuh gamelan pertama kali pada prosesi Ngungelaken Gangsa di Masjid Agung Surakarta pada Senin (9/9) siang.
Kendati demikian, tradisi Sekaten sebenarnya selalu berlangsung dengan khidmat. Mari kenalan lebih lanjut tentang sejarah dan makna Sekaten.
Apa itu Sekaten?
Sekaten adalah tradisi tahunan di Jawa, khususnya di Solo dan Yogyakarta, yang digelar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Acara ini memadukan unsur agama dan budaya, termasuk tabuhan gamelan yang menjadi bagian penting dari rangkaian prosesi. Gamelan Sekaten, seperti Kyai Guntur Madu, dimainkan sebagai simbol awal acara sakral tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadwal Pelaksanaan Sekaten
Sekaten diadakan setiap tahun pada bulan Maulid (Rabiul Awal), bulan kelahiran Nabi Muhammad, yang biasanya jatuh sekitar bulan Oktober hingga November, sesuai kalender Hijriyah. Prosesi ini berlangsung di dalam lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta dan Yogyakarta.
Lokasi Sekaten
Di Solo, prosesi Sekaten dilakukan di Masjid Agung Surakarta dan sekitarnya. Selain acara sakral di dalam masjid, ada juga festival rakyat di alun-alun yang dipenuhi oleh pedagang dan hiburan.
Peserta Sekaten
Pada prosesi Sekaten tahun 2024 di Keraton Surakarta, beberapa tokoh dan kelompok yang terlibat termasuk keluarga Keraton, abdi dalem, serta masyarakat setempat. Upacara pembukaan ditandai dengan tradisi "wilujengan" atau doa bersama sebagai tanda dimulainya rangkaian acara. Gamelan Sekaten seperti Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari turut hadir di Masjid Agung bersama abdi dalem sebagai bagian dari ritual yang dilakukan selama acara.
Makna Penting Sekaten
Makna "Sekaten" terutama terletak pada perpaduan antara dakwah Islam dan budaya lokal Jawa. Dari segi keagamaan, Sekaten berfungsi sebagai upaya memperkenalkan Islam kepada masyarakat Jawa melalui pendekatan yang akrab dengan kebudayaan mereka, seperti gamelan dan upacara tradisional.
Sekaten menjadi salah satu warisan dari Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, yang menggunakan cara-cara kultural untuk menyebarkan ajaran Islam. Nama "Sekaten" sendiri diambil dari kata "syahadatain" yang merujuk pada dua kalimat syahadat, sebagai simbolisasi masuknya seseorang ke dalam agama Islam.
Di sisi lain, Sekaten juga memiliki makna budaya yang sangat penting. Perayaan ini merupakan ajang akulturasi antara agama dan adat istiadat Jawa, yang menghasilkan harmoni antara dua unsur tersebut.
Selama berlangsungnya Sekaten, masyarakat dari berbagai lapisan sosial berkumpul untuk merayakan tradisi ini, menikmati hiburan rakyat, dan memanjatkan doa. Oleh karena itu, Sekaten bukan hanya sebuah ritual agama, tetapi juga sebuah festival budaya yang merefleksikan identitas masyarakat Jawa, sekaligus merawat warisan leluhur mereka.
Insiden Kericuhan di Sekaten
Kericuhan warnai pembukaan Sekaten di Halaman Masjid Agung, Kota Solo, Senin (9/9/2024). (dok. istimewa)
Kericuhan terjadi saat KRA Rizki tiba di acara Sekaten dan mendapati gamelan sudah dimainkan tanpa kehadirannya. Rizki merasa bahwa ia yang seharusnya memimpin prosesi "Ngungelaken Gangsa" sesuai perintah dari Pakubuwana XIII.
Hal ini memicu perdebatan antara kubu Rizki dan pihak Lembaga Dewan Adat (LDA), yang menyatakan bahwa gamelan harus dimainkan oleh abdi dalem sesuai instruksi dari pengeras suara Masjid Agung. Perselisihan ini menyebabkan ketegangan dan berujung pada aksi dorong-dorongan di antara kedua pihak.
Meskipun sempat terjadi insiden, acara Sekaten tetap berlanjut dan masyarakat Solo masih dapat menikmati perayaan tahunan ini. Insiden tersebut menyoroti pentingnya koordinasi dan tradisi dalam prosesi budaya seperti Sekaten, yang terus menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di Solo.
(wkn/wkn)