ARTICLE AD BOX
KAUKUS Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mendorong Universitas Indonesia (UI) tetap mempertahankan sanksi etik yang dijatuhkan kepada promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil Lahadalia, yakni Chandra Wijaya dan Athor Subroto.
"Perlu kiranya mendorong UI dan komunitas akademik secara lebih luas untuk tetap konsisten menegakkan standar etik, tidak berhenti hanya karena ada putusan PTUN," kata Presidium KIKA Dodi Faedlulloh melalui pesan tertulis pada Ahad, 5 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Pada 1 Oktober 2025, Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan Chandra dan Athor. Hakim memerintahkan Rektor UI untuk mencabut sanksi yang diberikan kepada kedua dosen pembimbing Bahlil ini. Rektor UI sebelumnya menjatuhkan sanksi administratif kepada Chandra dan Athor karena diduga melanggar etik saat membimbing Bahlil menyusun tugas akhir pendidikan doktoralnya.
Menurut Dodi, putusan PTUN tersebut sejatinya tidak mengubah status pelanggaran yang telah dilakukan oleh Chandra dan Athor. Ia menuturkan PTUN sebagai peradilan tata usaha negara hanya menguji dan membatalkan aspek legalitas administratif sanksi saja, sementara substansi pelanggaran etiknya tetap berlaku.
Menurut dosen Administrasi Publik Universitas Lampung ini, terlepas apa pun putusan pengadilan, UI tetap harus menegakan konsekuensi hukum atas pelanggaran etik yang terjadi di ruang akademik UI. "Kampus harus berdiri di atas prinsip etik dan akademik, bukan sekadar pada tafsir legal-formal," kata Dodi.
Selain itu, jika kampus sebesar UI saja pasrah pada putusan pengadilan untuk mencabut sanksi etik, Dodi khawatir kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi akan semakin tergerus. Publik bisa saja melihat bahwa ada jarak antara semangat menjaga integritas akademik dengan hasil akhir yang diwarnai proses hukum.
Karena itu, KIKA mendorong UI tetap konsisten pada keputusan awal untuk memberikan sanksi kepada promotor dan ko-promotor disertasi Bahlil. "Kampus besar seperti UI justru dituntut menunjukkan keberanian moral untuk tetap konsisten menegakkan standar akademik, sekalipun berhadapan dengan figur pejabat negara atau tekanan politik," ujar dia.
Chandra dan Athor sebetulnya mengajukan gugatan secara terpisah. Masing-masing teregister dengan nomor perkara 190/G/2025/PTUN.JKT dan 189/G/2025/PTUN.JKT. Athor mendaftarkan gugatan lebih dulu, yaitu pada 5 Juni 2025, sementara Chandra lima hari setelahnya atau pada 10 Juni 2025.
Meski begitu, bunyi petitum keduanya sama, yakni terdiri dari empat permohonan. Pertama, penggugat meminta pengadilan membatalkan Surat Keputusan Rektor UI atas penetapan sanksi administrastif kepada masing-masing pemohon. Kedua, penggugat meminta pengadilan memerintahkah tergugat untuk mencabut surat tersebut.
Ketiga, penggugat meminta hakim memerintahkan tergugat merehabilitasi nama baik penggugat. Keempat menghukum tergugat untuk membayar seluruh biaya perkara yang timbul dari perkara tersebut.

1 month ago
11



































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5354663/original/096965800_1758261685-Netmarble_resmi_merilis_Seven_Knights_Re_BIRTH.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4427869/original/031269400_1684126127-Harga_Xbox_Wireless_Controller_di_Indonesia.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5355640/original/034801700_1758346588-Depositphotos_677556340_L.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5351714/original/038006700_1758083153-WhatsApp_Image_2025-09-17_at_11.06.03_ad3d1f54.jpg)