ARTICLE AD BOX

BADAN Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti potensi besar kerang abalon (Haliotis spp.) yang banyak ditemukan di pesisir Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Abalon dikenal sebagai komoditas laut bernilai tinggi, tidak hanya karena rasanya yang lezat, tetapi juga karena kandungan gizinya yang melimpah.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN, Dwi Eny Djoko Setyono, menyampaikan bahwa dari tujuh jenis abalon yang tersebar di Indonesia, empat di antaranya hidup di perairan Gunungkidul. Keempatnya adalah Haliotis asinina, Haliotis squamata, Haliotis varia, dan Haliotis ovina.
“Dalam 100 gram daging abalon terdapat sekitar 20 gram protein. Kandungan ini menjadikannya sumber protein hewani yang sangat baik bagi kesehatan,” ujar Djoko dalam laman resmi BRIN, Selasa (2/9/2025).
Selain kaya protein, abalon juga mengandung asam lemak omega 3 dan 6 yang berperan penting menjaga kesehatan jantung.
Mineral penting seperti kalsium, fosfor, dan zat besi membuatnya bermanfaat untuk kekuatan tulang. Uniknya, kadar lemak abalon sangat rendah, hanya 0,1 gram, dan hampir tidak mengandung kolesterol.
Djoko menambahkan, daging abalon juga menyimpan vitamin A, B12, dan E. Vitamin-vitamin ini bermanfaat bagi kesehatan mata, sistem saraf, hingga kulit. Kandungan seng pada abalon pun berfungsi memperkuat sistem kekebalan tubuh.
“Vitamin E yang tinggi dapat menjaga kesehatan kulit dan melindungi dari radikal bebas, sementara seng bisa membantu tubuh lebih tahan terhadap penyakit,” ujarnya.
Tidak hanya dagingnya, hasil riset juga menemukan bahwa isi perut abalon mengandung enzim bermanfaat, sedangkan lendirnya bersifat anti-peradangan. Temuan ini membuka peluang pemanfaatan abalon di bidang kesehatan maupun industri kosmetik.
Namun, di balik potensi tersebut, budidaya abalon di Gunungkidul menghadapi tantangan. Tingginya gelombang laut selatan Jawa membuat sulit menentukan lokasi aman untuk budidaya.
Selama ini nelayan hanya bisa menangkap abalon saat air laut surut panjang. Akibatnya, pasokan abalon untuk kuliner di Gunungkidul belum stabil.
“Kita perlu melakukan restocking atau penebaran benih dalam jumlah besar. Selain itu, penting ada aturan agar nelayan hanya menangkap abalon dengan panjang cangkang di atas 5 sentimeter, karena pada ukuran itu abalon sudah sempat bertelur dan bisa menjaga regenerasi alami,” tegasnya.
Djoko menekankan bahwa abalon merupakan aset penting bagi Gunungkidul karena memiliki nilai ekonomi tinggi sekaligus potensi besar untuk sektor pangan, kesehatan, dan industri kreatif.
Sumber: BRIN