ARTICLE AD BOX
REPUBLIKA.CO.ID, COPENHAGEN -- Peneliti dari University of Copenhagen mengembangkan metode mengubah plastik PET menjadi bahan yang dapat mengurangi gas rumah kaca. PET merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan di seluruh dunia.
Ketika penggunaannya sudah selesai, plastik jenis ini kerap kali berakhir di Tempat Pemrosesan Sampah (TPS) hingga pecah menjadi mikro-plastik yang dapat menyebar ke udara, tanah hingga air tanah. Sebagian besar juga berakhir di laut.
"Keindahan metode ini adalah kami menyelesaikan masalah tanpa membuat yang baru, dengan mengubah sampah menjadi bahan mentah yang dapat mengurangi gas rumah kaca secara aktif, kami membuat isu lingkungan menjadi bagian dari solusi krisis iklim," kata penelitian Departemen Kimia University of Copenhagen Margarita Poderyte seperti dikutip dari situs resmi universitas itu, Sabtu (6/9/2025).
Dengan teknologi kimiawi, para peneliti mengubah sampah plastik PET yang kerap diabaikan pendaur ulang menjadi bahan baku utama penyerap karbon dioksida (CO2) bernama BAETA. Bahan baru ini mampu menyerap karbon dioksida dari atmosfer dengan sangat efisien, sebanding dengan teknologi penangkapan karbon yang sudah ada.
BAETA memiliki struktur serbuk (powdery structure) yang bisa dipeletisasi (pelletized), artinya serbuk tersebut bisa dipadatkan atau dibentuk menjadi butiran kecil (pellet). Bentuk pellet ini membuat material lebih mudah digunakan, misalnya dalam filter atau unit industri, karena butiran lebih stabil, tidak berdebu, dan bisa diatur penggunaannya.
Permukaan BAETA juga telah di-“upgrade” secara kimia, sehingga sangat efektif dalam mengikat dan menangkap emisi karbon dioksida. Setelah penuh (jenuh), karbon dioksida yang tertangkap bisa dilepaskan kembali melalui proses pemanasan.
Dari situ, karbon dioksida dapat dikonsentrasikan, ditangkap, lalu disimpan atau diubah menjadi sumber daya berkelanjutan. Dalam praktiknya, teknologi ini diharapkan dipasang di fasilitas industri, misalnya pada cerobong asap pabrik.
Gas buangan akan dialirkan melewati unit BAETA, sehingga karbon dioksida bisa diserap dan udara yang keluar lebih bersih. Dalam makalah yang dipublikasikan di jurnal Science Advance, para peneliti menjelaskan proses kimiawi temuan ini.
“Bahan utamanya adalah limbah plastik yang sebaliknya akan berakhir dengan cara yang tidak berkelanjutan, dan proses sintesis yang kami gunakan—di mana transformasi kimia terjadi—lebih lembut dibandingkan dengan material lain untuk penangkapan karbon dioksida karena kami dapat melakukan sintesis pada suhu ruang. Teknologi ini juga memiliki keunggulan karena lebih mudah untuk ditingkatkan skala penggunaannya,” kata Poderyte.
Peneliti dari Departemen Kimia University of Copenhagen lainnya, Jiwoon Lee mengatakan bahan baku ini efektif dan efisien dalam jangka panjang. Ia mengatakan bahan ini bekerja dengan efisien dari suhu ruangan sampai 150 derajat celsius.
"Dengan toleransi terhadap suhu tinggi seperti ini, material ini dapat digunakan di akhir pemrosesan di pabrik industri di mana gas buang biasanya panas,” kata Jiwoong Lee.
Para peneliti siap untuk langkah berikutnya. Poderyte mengatakan bahan baku ini siap digunakan di pabrik penangkap karbon.
"Langkah besar berikutnya adalah meningkatkan skala produksi material ini dalam jumlah ton, dan kami sudah berupaya menarik investasi dan menjadikan penemuan kami sebagai usaha bisnis yang berkelanjutan secara finansial,” katanya.
Para peneliti tidak mengkhawatirkan tantangan teknis dari teknologi ini. Menurut mereka tantangan berikutnya adalah membujuk pembuat kebijakan untuk memberikan investasi yang dibutuhkan.