ARTICLE AD BOX
SEORANG mahasiswa di Kota Medan berinisial DS diduga menjadi korban penyiksaan anggota kepolisian saat unjuk rasa menolak kenaikan tunjangan DPR di DPRD Sumut pada Selasa, 26 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Saat ricuh, massa berlarian ke arahnya. DS tidak sempat menyelamatkan diri. Dia dicekik dan dijatuhkan tepat di depan lantai Bank Mandiri oleh orang yang diduga aparat tidak berseragam. Dia mengaku bukan bagian dari massa aksi.
"Mereka bilang, mati kau! Padahal sudah ku bilang, kami nggak ikut-ikutan," katanya di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan pada Senin, 1 September 2025.
DS kemudian diseret, diangkat dan dijatuhkan lagi. Wajah dan kepalanya diinjak sampai mengalami pendarahan dan pingsan. Setelah itu ditinggalkan begitu saja. Seorang pegawai bank membawanya ke Rumah Sakit Islam Malahayati, tak jauh dari lokasi.
Hasil CT Scan menunjukkan ada pendarahan di bagian kiri kepala. DS mengalami trauma psikis, selalu khawatir saat di keramaian, sulit berbicara, dan sangat ketakutan.
"Apa yang dialami korban menunjukkan pelaku begitu brutal dan tak punya empati. Kawan-kawan bisa lihat sendiri bagaimana kejadiannya dalam video yang beredar, sampai kejang begitu," kata Direktur LBH Medan Irvan Saputra.
LBH Medan bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatra Utara mendampingi DS melaporkan dugaan penyiksaan ke Polda Sumut pada Sabtu, 30 Agustus 2025. Laporan ini menjadi bukti nyata buruknya penghormatan terhadap hak asasi manusia di tubuh institusi kepolisian.
Laporan tersebut juga menambah panjang catatan praktik kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil yang tengah menjalankan hak konstitusionalnya menyampaikan pendapat di muka umum.
"Kami mengutuk keras segala bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi oleh aparat kepolisian, khususnya Polda Sumut, yang seharusnya menjalankan mandat untuk melindungi masyarakat," timpal Dinda dari Kontras Sumut.
Tindakan polisi kepada korban, kata dia, telah merendahkan martabatnya, menimbulkan luka fisik, trauma psikis, memperlihatkan praktik penyiksaan dan penggunaan kekerasan yang berlebihan atau excessive use of force yang sama sekali tidak dibenarkan.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3), Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Konvensi Anti Penyiksaan yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998, menjamin kebebasan berkumpul, berpendapat, serta melarang praktik penyiksaan dalam bentuk apa pun.
"Kejadian ini adalah pelanggaran HAM serius yang harus diusut tuntas melalui mekanisme pidana dan etik," ujarnya. "Kami menuntut Kapolda Sumut menonaktifkan pelaku sampai proses hukum selesai. Meminta Propam, Komnas HAM dan Kompolnas turun tangan melakukan penyelidikan independen."
Irvan menambahkan sampai sekarang, Polda Sumut belum mengungkap identitas pelaku, padahal video penyiksaan sudah viral. Atas tindakan brutalitas kepolisan daerah Sumut, LBH Medan dan Kontras Sumut menuntut presiden segera mencopot Kapolda Sumut yang dinilai gagal menjalankan tugas dan kewajibannya dalam melindungi serta menghormati HAM warga negara.
Kekerasan terhadap DS memperlihatkan institusi kepolisian belum bisa melepaskan diri dari budaya kekerasan atau culture of violence yang bertentangan dengan semangat reformasi Polri pasca-1998. Catatan LBH Medan dan Kontras Sumut menunjukkan adanya pola berulang tindakan represif aparat di Sumut dalam menghadapi aksi demonstrasi.
Alih-alih mengedepankan pendekatan persuasif, aparat justru menggunakan kekerasan, intimidasi, hingga penangkapan sewenang-wenang. "Kami menuntut Polda Sumut menindaklanjuti laporan DS secara cepat, transparan dan profesional," ujarnya.
Ia juga mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan pro justicia terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam kasus DS. Irvan meminta Kompolnas melakukan investigasi kelembagaan serta menuntut presiden dan Kapolri segera melakukan reformasi Polri secara menyeluruh dengan mengakhiri kultur kekerasan aparat.
Menurut dia, kasus DS adalah alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Penyiksaan terhadap warga negara merupakan penyalahgunaan kekuasaan sekaligus pelanggaran konstitusi. Negara memiliki kewajiban konstitusional melindungi rakyat dan menjamin kebebasan berpendapat, bukan justru menjadi aktor pelanggaran.
"Kami mengajak publik, media, akademisi dan organisasi masyarakat sipil mengawal kasus ini hingga tuntas," ujarnya. Tempo masih berupaya mengkonfirmasi atas dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan polisi terhadap DS.