ARTICLE AD BOX
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu ciri orang takwa, menurut Alquran surah Ali Imran ayat ke-133 dan 134 adalah orang yang selalu berbuat ihsan (baik). Dalam Kitab Suci, dari 18 kali ungkapan "Allah mencintai." Sebanyak 15 ungkapan di antaranya disandarkan kepada orang-orang yang berbuat baik atau muhsinin.
Menurut pakar tafsir al-Ashfahani, ihsan itu bermakna al-in'am 'ala al-ghair, melimpahkan kenikmatan atau kebajikan kepada pihak lain, baik secara fisik maupun spiritual.
Ketundukan manusia secara tulus kepada Allah SWT disebut sebagai ihsan (QS an-Nisa': 125). Begitu pula, pemberian maaf oleh seseorang kepada pihak lain yang bersalah juga disebut ihsan (QS al-Baqarah: 178).
Bagi kaum sufi, ihsan adalah ibadah yang disertai sikap batin yang amat kuat sehingga memiliki pengaruh secara moral. Nabi Muhammad SAW menyuruh kita agar melakukan ibadah seperti itu.
Sabda beliau, "Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya."
Ibadah yang digambarkan dalam hadis ini, menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, memperlihatkan kesempurnaan iman dan kesadaran rohani yang sangat tinggi. Itu juga mengungkapkan rasa cinta dan pengenalan manusia kepada Tuhan yang sangat tinggi pula (Madarij Al-Salikin, 2/460).
Sebagai konsep yang mengandung ide peningkatan kualitas ibadah dan kebajikan, ihsan dalam pandangan al-Jauziyah memiliki tiga tingkatan.
Pertama, kebaikan dalam orientasi, di mana orang harus mengarahkan perhatiannya menuju Tuhan. Pada tingkat ini, seseorang harus memasang niat dan motivasi yang kuat. Namun, ia harus membekali diri dengan ilmu agar niat dan tujuannya tidak melenceng dan keluar dari syariat.
Kedua, kebaikan dalam sikap dan perilaku. Pada tingkat ini, seseorang harus mampu menjaga dan memelihara kebaikan sikap dan perilakunya secara konsisten. Tanpa pemeliharaan ini, kebaikan sikap dan perilaku itu bisa hilang dan lenyap.
Selanjutnya, ia harus berusaha menjadikan kebaikan sikap dan perilaku itu sebagai karakternya sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Namun, pada tingkat ini, ia harus tetap menyembunyikan dan merahasiakan kebaikan-kebaikannya karena memperlihatkan kebaikan bukanlah cara hidup orang-orang sufi.
Mempertontonkan kebaikan secara terbuka dapat ditoleransi jika memang ada kepentingan untuk itu atau dipandang membawa kemaslahatan yang lebih besar. Misalnya, berdampak pada luasnya syiar atau kejayaan Islam di hadapan mereka yang membencinya.