ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husei dihadirkan sebagai ahli hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di sidang lanjutan Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh. Yunus mengatakan ada hal yang disembunyikan jika seorang penyelenggara negara melakukan penukaran valuta asing (valas) menggunakan identitas orang lain.
Mulanya, Jaksa KPK menanyakan ilustrasi seorang penyelenggara negara dengan profile pekerjaan dan pendidikan yang tinggi, tapi menyimpan uang rupiah dan mata uang asing secara tunai dalam jumlah besar. Jaksa bertanya apakah saat penyelenggara negara itu menukarkan valas menggunakan identitas orang lain dan mengisi form penukaran tanpa menjelaskan sumber maupun tujuan dana merupakan modus pelaku TPPU.
"Saya melanjutkan ilustrasi yang disampaikan oleh rekan kami tadi, di mana disebutkan bahwa tadi penyelenggara negara digaji rupiah, tidak punya usaha lain, atau berbisnis yang menghasilkan mata uang asing. Kemudian, si penyelenggara negara ini ketika menukarkan mata uang asing yang dimiliki, dia menggunakan identitas orang lain yang bukan identitas dirinya. Kemudian ketika mengisi form penukaran mata uang asing dia juga tidak memberikan tujuan atau sumber dana yang tidak benar dalam form itu. Nah, apakah ini juga, kita hubungan tadi dengan mensrea atau niat jahat dari si pelaku, apakah dari profilnya, dari pekerjaannya, dari pendidikannya, dari status sosial si penyelenggara negara ini yang sangat tinggi, dengan melakukan melakukan ini apakah itu termasuk salah satu modus dari si pelaku?" tanya jaksa KPK di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (15/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yunus lalu memberikan penjelasannya. Dia mengatakan penukaran valuta asing sudah dianggap sebagai suatu kejahatan dalam Pasal 3 UU TPPU.
"Ya menukar rupiah dengan valuta asing dan transaksi kita semua dengan uang rupiah, wajib rupiah di Indonesia ini, tidak boleh valuta asing. Menukar itu dengan valuta asing saja di Pasal 3 dianggap suatu perbuatan mengubah hasil kejahatan," ujar Yunus.
Yunus mengatakan penukaran valas menggunakan identitas orang lain yang dilakukan seorang penyelenggara negara berarti ada suatu hal yang disembunyikan. Dia mengatakan setiap orang yang melakukan transaksi dengan penyedia jasa keuangan harus memberikan informasi yang benar dilengkapi dengan dokumen.
"Kemudian menggunakan identitas orang, ada sesuatu yang disembunyikan, disamarkan. Kalau kita lihat ketentuan Pasal 19, Pasal 20 UU 8 Tahun 2010, setiap orang yang berurusan dengan penyedia jasa keuangan harus memberikan informasi yang benar didukung dokumen yang ada. Dan kalau dia bertindak untuk dan atas nama orang lain, dia harus sebutkan orang lain itu siapa, apakah dia punya istri, milik siapa, harus, itu diatur di dalam Pasal 20," kata Yunus.
"Kalau dia tidak penuhi ini, dia nggak sesuai dengan ketentuan customer due diligence ya, ketentuan di dalam pembukuan rekening, harusnya dipenuhi, karena bank itu perlu memprofile, mengumpulkan informasi mengenai nasabah lewat dia transaksi. Jadi bisa ini menyimpang dari ketentuan walaupun sanksinya administratif," imbuhnya.
Dakwaan Gazalba Saleh
Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Gazalba didakwa menerima gratifikasi secara bersama-sama senilai Rp 650 juta.
Jaksa KPK mengatakan gratifikasi itu diterima Gazalba dari Jawahirul Fuad terkait perkara kasasi Nomor 3679 K/PID.SUS-LH/2022. Jawahirul merupakan pemilik usaha UD Logam Jaya yang mengalami permasalahan hukum terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin dan diputus bersalah dengan vonis 1 tahun penjara.
Gazalba juga didakwa melakukan TPPU. Dalam dakwaan TPPU ini, jaksa awalnya menjelaskan Gazalba Saleh menerima uang dari sejumlah sumber. Pertama, Gazalba disebut menerima SGD 18 ribu atau Rp 200 juta yang merupakan bagian dari total gratifikasi Rp 650 juta saat menangani perkara kasasi Jawahirul Fuad.
Berikutnya, Gazalba disebut menerima Rp 37 miliar saat menangani peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaffar Abdul Gaffar pada 2020. Uang itu diterima oleh Gazalba bersama advokat Neshawaty Arsjad.
Gazalba juga menerima penerimaan selain gratifikasi SGD 18 ribu sebagaimana dijelaskan dalam dakwaan pertama. Jaksa menyebut Gazalba menerima SGD 1.128.000 atau setara Rp 13,3 miliar, USD 181.100 atau setara Rp 2 miliar dan Rp 9.429.600.000 (Rp 9,4 miliar) pada 2020-2022. Jika ditotal, Gazalba menerima sekitar Rp 62 miliar.
Jaksa kemudian menyebutkan Gazalba menyamarkan uang itu dengan membelanjakannya menjadi sejumlah aset. Antara membeli mobil Alphard, menukar ke valuta asing, membeli tanah/ba...